Prabu SURALIMAN KERAJAAN KENDAN BANDUNG-GARUT (536-612 M)

Bookmark and Share



Prb SURALIMAN KERAJAAN KENDAN BANDUNG-GARUT (536-612 M)
Ke Situs Batu Kerajaan Kendan. Situs Batu Kerajaan Kendan terletak di Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Nagreg.
Bandung selain kaya wisata alam dan belanja, juga kaya akan wisata budaya. Salah satu yang menjadi wisata budaya dan sejarah itu yakni Situs Batu Kerajaan Kendan. Kerajaan ini telah ada sejak tahun 536 Masehi dan didirikan o
leh Resiguru Manikmaya. Kerajaan inipun kemudian berkembang menjadi kerajaan besar bernama Galuh ketika kekuasannya dipegang oleh Prabu Wretikandayun pada tahun 612 Masehi.
Batu Kasar dan Hitam
Nama Kendan berasal dari kata Kenan yang memiliki makna sejenis batu cadas, berongga dan didalamnya mengandung kaca yang berwarna hitam. Batuan inipun akan tampak kemilauan saat tersorot oleh sinar matahari. Memiliki permukaan yang sangat kasar dan tajam. Dan konon, jenis batuan semacam ini hanya terdapat di wilayah Kendan saja. Aneh ya!
Daerah Nagreg, yang ketika mudik lebaran seringkali menjadi titik kemacetan merupakan bekas ibukota Kerajaan Kendan. Ada banyak cerita dan versi yang berada di seputar Kerajaan Kendan ini. Dulunya di kerajaan ini sering digelar kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan disekitar kabuyutan dimana didalam kabuyutan tersebut biasanya ditandai dengan bangunan punden berundak.
Punden ini tersebar di beberapa tempat yang sering disebut orang sebagai candi. Istilah ini didasarkan adanya kemiripan bahan material dengan bangunan umat Hindu. Meskipun sebenarnya antara arsitektur punden dan arsitektur candi sangat jauh berbeda. Candi merupakan bangunan tertutup atau berdinding, sedangkan punden merupakan bangunan terbuka tanpa dinding maupun atap. Di dalam konsep tata ruang puseur dayeuh kerajaan pra-Islam di Tatar Sunda, bangunan punden berfungsi sebagai goah.
Selain ditemukan Arca Manik, di daerah ini juga sempat ditemukan mahkota serta sebuah pusaka nagasastra yang kemudian tersimpan di salah seorang sesepuh Kampung Kendan. Sebagai nagara rasa, hanya orang yang memiliki kehalusan rasa dan ketajaman bathin yang dapat merasakan peninggalan-peningalan kerajaan Kendan yang sudah terkubur ratusan tahun lamanya. Dan sampai saat ini pun, belum dapat dipastikan dimana material bekas “karaton”-nya.
Sejarah Jawa Barat mencatat Kendan telah eksis sejak tahun 536 sampai dengan 612 M. Kendan berubah nama menjadi Galuh (permata) ketika masa Wretikandayun, penerus Kendan menyatakan diri melepaskan diri dari Tarumanagara (Sundapura). Karena Terusbawa merubah Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (pura). Sejak tahun 670 M ditatar sunda dianggap ada dua kerajaan kembar, yakni Sunda Pakuan dan Sunda Galuh.
Naman Kendan seolah tenggelam dalam kebesaran nama Galuh, sangat jarang diketahui masyarakat tentang wilayah dan kesejarahannya, kecuali beberapa masyarakat yang berminat mendalami sejarah Sunda. Bagi sejarawan sunda eksistensi Kendan tidak dapat dilepaskan dari Galuh. Kendan danggap cikal bakal Galuh. Bahkan sejarawan Sumedang di Musium Prabu Geusan Oeloen membedakan Galuh Kendan dengan Galuh Kawali.
Letak Kendan
Kendan didalam catatan sejarah Jawa Barat diperkirakan terletak disuatu daerah diwilayah Kabupaten Bandung, ditepi sebuah bukit (Kendan), + 500 meter sebelah timur stasiun kereta api Nagreg. Terdapat daerah hunian yang bernama Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka. Namun berdasarkan on the spot, letak Kendan berada di sebelah barat stasiun nagreg dan termasuk Desa Nagreg.
Bukit Kendan yang dimaksud sangat jauh untuk disebutkan memiliki jejak Sejarah, mengingat perbukitan Kendan saat ini sudah hampir habis akibat tanahnya dieksploitasi untuk bahan pembuatan bata merah.
Disekitar Nagreg dan Citaman ditemukan pula suatu tempat yang disebut masyarakat sekitarnya “tempat pamujaan”, Sayang istilah tempat pamujaan dalam paradigma masyarakat sunda dewasa ini dikonotasikan negatif, karena sering digunakan “pamujaan”, suatu cara meminta harta kekayaan kepada mahluk gaib, dan dianggap menyekutukan Tuhan. Sama dengan istilah pesugihan.
Nama Kendan lebih dikenal dalam dunia arkeologi, identik sebagai pusat industri perkakakas neolitik pada jaman purbakala. Batu Kendan sudah lama disebut-sebut dalam dunia kepurbakalaan. Disinyalir daerah Kendan sudah ramai dihuni penduduk sejak sebelum tarikh masehi.
Pasir batu bukit Kendan sampai saat ini masih di eksploitasi penduduk setempat, karena mengandung bahan perekat yang sangat cocok untuk pembuatan gerabah. Haji Atang pemilik bukit itu sekarang, memanfaatkan bukit kendan untuk dijadikan bahan campuran bata merah. Konon kabar menurut cerita Pak Anang, keponakan Haji Atang, pada waktu jaman belanda kakeknya mengeksploitasi tanah Kendan untuk dikirim ke Belanda dari stasiun Nagreg melalui Pelabuhan Surabaya, bahkan pembangunan gedung sate dan gedung lainnya di kota Bandung disinyalir menggunakan bahan dari bukit Kendan. Mungkin keberadaan setasiun Nagreg pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari Daerah Kendan. Stasiun ini merupakan saksi bisu dari diangkutnya material Kendan kedaerah lain.
Didaerah Kendan pernah ditemukan ditemukan sebuah patung kecil. Para akhli sejarah menyebutnya patung Dewi Durgi. (saat ini disimpan dimusium Jakarta). Sedangkan di dalam prasasti Jayabupati disebutkan, bahwa : kekuatan Durgi dianggap kekuatan Gaib. Dalam cerita Lutung Kasarung, Nini Dugi dianggap berasal dari Kanekes.
Keberadaan patung Durga ditempat pamujaan menimbulkan spekulasi dari beberapa akhli sejarah. Pleyte (1909) mensinyalir daerah tersebut termasuk daerah “Kabuyutan”. Sama dengan daerah Mandala, atau Kabuyutan yang ada diwilayah Cukang Genteng, dekat Ciwidey Kabupaten Bandung.
Kerajaan Kendan selain dikenal melalui gerabah purbakalanya juga disebut-sebut di dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta. Kedua sumber dianggap duplikasi dari Pararatwan Parahyangan. Sayangnya Pararatwan Parahyangan saat ini tidak diketahui rimbanya. Namun karena dijadikan sebagai naskah rujukan maka Pararatwan Parahyangan dipastikan keberadaannya lebih tua dari Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta. (*)
Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari berbagai sumber.