Sèkh Maulana Ishaq [1]
Pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V, adalah seorang ulama dari tanah Arab yang bernama Sekh Wali Lanang, dalam perjalanannya ke tanah Jawa untuk menemui sahabatnya, Sunan Ampel di Surabaya. Pertemuan dua sahabat itu tidak hanya membicarakan tentang masalah spiritual, tetapi juga akselerasi pembangunan ummat. Beberapa bulan di Ampelgading, dirasa oleh Sekh Wali Lanang [2] telah cukup, dan akan melanjutkan perjalanannya ke arah tenggara, hingga sampai di Kadipaten Blambangan, namun tidak langsung ke ibukota, tetapi bermukim disebuah desa yaitu Purwasata.
Pada saat itu putri sang Adipati Blambangan yang cantik itu sedang menderita sakit yang tidak bisa diobati oleh para tabib setempat. Karena memang sakitnya putri Adipati ini bukan penyakit biasa, tetapi penyakit yang diderita oleh seorang gadis yang sedang beranjak masa birahi.
Patih Samboja memberi saran kepada sang Adipati, bahwa di desa Purwasata ada seorang ulama muda dari Arab bernama Maulana Ishak, mungkin bisa mengobati penyakit putrinya. Saran ki Patih diterima, dan sekh Wali Lanang dipanggil masuk ke Kadipaten. Singkat cerita, bahwa sang putri bisa disembuhkan.
Karena sebelumnya telah disayembarakan, barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit putrinya, akan dinikahkan padanya, maka janji itu ditepati oleh sang Adipati Blambangan.
Rupa-rupanya ada perbedaan prinsip yang sangat signifikan antara sekh Wali Lanang dengan Adipati Blambangan, yang akhirnya Sekh Wali lanang pergi meninggalkan Kadipaten Blambangan dan menuju ke Kerajaan Pasai.masalah di Blambangan tidak hanya sampai disitu, beberapa bulan kemudian terjadi bencana pagebluk sakit pagi sore meninggal, sakit sore paginya meninggal. Semua ini kesalahan ditimpakan pada Sekh Wali Lanang sebagai biang keladinya, tidak hanya itu Ki PAtih Samboja juga kena getahnya, dan akhirnya dipecat dari jabatan patih.
Ki Samboja kemudian melamar pekerjaan di Majapahit, dan Sang Prabu sudah mengetahui semua kejadian di blambangan, maka ki Samboja di beri pekerjaan untuk mengurus wilayah Gresik. Beberapa bulan kemudian ki Samboja meninggal dunia dan dimakamkan di Gresik, sedangkan nyai Samboja mengurus seluruh harta peninggalan ki Samboja, kemudian membuka usaha dagang.
***
Sang putri yang telah mengandung besar itu, tiga bulan kemudian melahirkan seorang anak lelaki, namun oleh sang Adipati tidak suka dengan anak bayi itu. Kemudian sang bayi yang tak berdosa itu, dimasukkan ke dalam kendhaga dan di lempar ke laut. Kendhaga terapung di laut Banyuwangi, pada siang hari kebetulan ada kapan pedagang yang sedang melintas dan salah seorang awaknya melihat ada benda yang terapung di air laut. Akhirnya kendhaga berhasil dinaikkan ke kapal. Setelah kendhaga dibuka ternyata seorang anak bayi. Para pedagang bingung, tidak berani mengambil langkah. Sang bayi di bawa pulang, dan akhirnya bayi diberikan kepada Nyai Samboja. Karena bayi itu ditemukan ditengah lautan, maka oleh nyai Samboja diberi nama Jaka Samodra.
[1] Dalam babad Giri atau serat Centini disebut sebagai Sekh Wali Lanang
[2] Sèkh Maulana Ishaq masih keturunan sayyid Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Sastra Diguna