KH Muntaha al-Hafidz.
Seperti kebanyakan ulama NU, Kiai Muntaha pun menghabiskan banyak waktu untuk memperdalam ilmu agama dengan berkelana ke sejumlah pesantren.Ia terlahir dari keluarga santri. Ayahnya adalah KH Asy'ari bin KH Abdurrahim bin K Muntaha bin K Nida Muhammad.
Sementara, ibunya bernama Hj Syafinah. Sang ayah merupakan generasi kedua pengurus Ponpes Al-Asy'ariah. Adapun generasi pertamanya adalah Kiai Abdurrahman, sang kakek yang merupakan ulama seperjuangan dengan Pangeran Diponegoro.
Seperti kebanyakan ulama NU, Kiai Muntaha pun menghabiskan banyak waktu untuk memperdalam ilmu agama dengan berkelana ke sejumlah pesantren.
Dalam hal ini, peran sang ayah sangat besar. Dari ayahnya, Muntaha kecil mendapatkan bekal pertama untuk mengakrabi Alquran.
Setelah memperoleh bekal keilmuan dari sang ayah, Muntaha mulai berkelana. Pendidikan formal agamanya diawali sebagai santri di Darul Ma'arif, Banjarnegara. Pengasuh perguruan ini adalah Syekh Muhammad Fadhlullah as-Suhaimi yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Muntaha.
Tamat dari Darul Ma'arif, Muntaha mondok di Pesantren Tahfidzul Qur'an Kaliwungu, Kendal. Di tempat ini, ia dibimbing langsung oleh KH Utsman dan berhasil menghafal Alquran. Saat itu, Muntaha masih berusia 16 tahun.
Meski telah hafal Alquran, bukan berarti perjalanan Muntaha dalam menuntut ilmu, berhenti. Sejarah mencatat, ia kemudian berguru kepada Kiai Munawwir Alhafidz di Pondok Pesantren Krapyak.
Dari Krapyak, ia nyantri di Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia mendalami ilmu hadis, fikih, dan tafsir di bawah asuhan Kiai Dimyati yang banyak melahirkan ulama besar di negeri ini.
Sebuah catatan menyebut, Muntaha memiliki kebiasaan yang jarang dilakukan orang lain, utamanya dalam menempuh perjalanan menuju pesantren yang akan menjadi tempatnya belajar.
Kebiasaan yang dimaksud adalah berjalan kaki menuju Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak hingga Pesantren Termas. Hal unik ini dilakukan semata-mata untuk mempertegas keikhlasannya dalam mencari keberkahan ilmu.
Berjalan kaki menuju pesantren-pesantren tersebut tentu butuh waktu cukup lama. Nah, saat beristirahat di perjalanan, ia selalu berusaha memanfaatkan waktu untuk mengkhatamkan Alquran.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Mohammad Akbar