Kiai Abdus Salam

Bookmark and Share


Ketinggian ilmu berbaur dengan keluhuran moral
Perang Diponegoro (1825-1830), memunculkan plot baru dalam babak sejarah perjuangan kaum bangsawan di tanah Jawa. Posisi dan kedudukan Belanda lebih digdaya. Perang berakhir dengan kemenangan di pihak mereka. Tetapi, di sisi lain, ada gurat kekecewaan mendalam bagi para pasukan Diponegoro. Mereka tidak berhasil mengalahkan pasukan Belanda. Secara politis, kekuasaan berpindah ke tangan Belanda; di bawah kendali Jenderal De Kock. Akibatnya, keberadaan pasukan Pangeran Diponegoro menjadi terjepit. Melakukan pelarian, bisa menjadi opsi ideal bagi sebagian besar mereka; kecuali kalau ingin mati atau terkurung di tahanan Belanda. Sedangkan Pangeran Diponegoro sendiri, ditangkap oleh Belanda.
*********************
Cikal bakal pesantren Tambakberas Jombang, bermula pada sekitar tahun 1827. Saat itu, desa tersebut masih lebat dengan hutan belantaranya. Semak belukar liar meranggas di mana-mana. Suasan desa masih sepi. Pemukiman penduduk desa masih terbilang berjauhan satu sama lain.
13558159061099284601
Di saat seperti ini, datanglah seorang pendakwah agama. Ia seorang pelarian dari Perang Jawa, Diponegoro. Siapa namanya? Dialah KH. Abdus Salam. Sesungguhnya, ia bukan hanya seorang pendakwah agama. Kiai Abdus Salam, bisa dibilang pula, seorang pendekar. Ia punya ketinggian ilmu bela diri, dan bahkan kanugaran. Semuanya lalu termanifestasikan ke dalam keluhuran budi pekerti dan kerendahan hatinya.
Kiai Abdus Salam, melarikan diri usai takluknya pasukan Pangeran Diponegoro di tangan Belanda. Kekalahan dalam perang Jawa itu, bagai palu gadam. Amat telak pukulannya. Terlebih, posisi Pangeran Diponegoro yang ditangkap oleh Belanda. Lalu, sebagian besar pengikut pangeran yang tidak ditangkap, menyebar ke berbagai tempat. Salah satunya, yaitu Kiai Abdus Salam. Dari Tegalrejo, ia dan kawanannya, bergerak menuju timur. Tempat yang ia sasar, yaitu Tambakberas. Sebuah tempat yang jauh dari keramaian khalayak.
Ada satu misi yang ingin ia kembangkan, yaitu dakwah Islam.
Bersama beberapa pengikutnya ia lalu membangun sebuah perkampungan santri. Hunian sederhana itu, terdiri dari langgar (mushalla) dan tempat pemondokan sementara, untuk 25 orang pengikutnya. Karena pesantren saat itu hanya dihuni 25 orang, maka dikenal dengan Pondok Selawe (dua puluh lima).
Kiai Abdus Salam masih berada dalam garis keturunan Prabu Brawijaya, salah seorang raja Dinasti Majapahit. Lebih jelasnya, Abdus Salam adalah putera dari Abdul Jabar, putera Ahmad, putera Pangeran Sumbu, putera Pangeran Benowo, putera Jaka Tingkir (Mas Karebet), putera Lembu Peteng, putera Brawijaya V (raja Majapahit ketujuh).
Nama Kiai Abdus Salam kemudian lebih dikenal dengan nama Shoichah atau Kyai Shoichah. Beliau kemudian menikahi seorang puteri dari kota Demak, yaitu Muslimah. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai beberapa putera dan puteri. Mereka antara lain: Layyinah, Fatimah, Abu Bakar, Marfu’ah, Jama’ah, Mustaharoh, Ali Ma’un, Fatawi, dan Abu Syakur.
Pasca berpulangnya Kyai Usman dan Kyai Said ke rahmatullah, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh Chasbulloh. Ia seorang putera Kiai Said. Ini berbeda dengan yang dialami Kiai Usman. Beliau tidak berketurunan seorang putera sebagai penerus. Oleh sebab itu, seluruh santri yang beliau asuh, lalu diboyong menuju pondok barat di bawah asuhan Kiai Chasbulloh. Dalam mengembangkan pesantren, Kiai Chasbulloh ditemani seorang istri setia, yaitu Nyai Latifah (asalnya Aisyah) yang berasal dari desa Tawangsari, Sepanjang Sidoarjo.
**********
Di tengah ketenangan dan kedamaian suasana batin Abdus Salam selepas menaklukkan semak dan mendidik santri, ternyata pihak penjajah, Belanda, merasa terancam. Belanda khawatir Abdus Salam akan menghimpun bala kekuatan untuk menentangnya jika pesantrennya terus berkembang. Dari kekhawatiran ini, Belanda berkali-kali mencoba memanggil Abdus Salam. Namun, naluri sebagai seorang mantan pasukan perang Pangeran Diponegoro, membuatnya tidak cepat merespon untuk memenuhi panggilan tersebut. Abdus Salam tahu bahwa, jika memiliki keinginan, maka Belanda akan menggunakan berbagai cara, termasuk memanggil seseorang untuk berunding. Ujung-ujungnya, itu hanya untuk memantapkan posisinya dalam menjajah negeri ini.
Dikisahkan, tiga kali Belanda mencoba memanggil Abdus Salam. Pada panggilan pertama dan kedua pihak Belanda kembali dengan tangan hampa. Kiai Abdus Salam sama sekali tak mengindahkan pemanggilan tersebut. Dua kali pemanggilan “baik-baik” tidak mau datang, Belanda menganggap Kiai Abdus Salam telah membangkang dan menentang mereka. Maka, pada pemanggilan ketiga, Belanda memerintahkan utusannya agar mampu membawa Kiai Abdus Salam hidup atau mati. Jika masih saja membangkang, maka harus dipaksa.
Kiai Abdus Salam sendiri, juga jengah karena merasa ketenangannya dalam berdakwah terusik oleh Belanda.
Pada pemanggilan ketiga Belanda mengirim kurir yang gagah berani dengan mengendarai bendi. Sesuai dengan misi tugasnya untuk menghadirkan Abdus Salam dalam keadaan apapun, kurir itu berkata kepada Abdus Salam dengan kata-kata kasar dan memaksa. Kiai Abdus Salam yang sudah kesal terhadap Belanda tersinggung, lalu spontan membentak kurir tersebut, “Kurang ajar”, begitu kira-kira.
Keajaiban terjadi, begitu kata-kata bentakan itu dilontarkan Abdus Salam, kurir belanda itu langsung klenger, mati bersama kuda yang ia tunggangi.
Cerita tentang Abdus Salam dan tewasnya kurir Belanda tersebut cepat tersebar luas ke masyarakat. Sejak saat itulah, Kiai Abdus Salam mendapat sebutan Shoichah, atau “Mbah Shoichah”, yang artinya bentakan. Kiai Abdus Salam hingga kini tetap dikenal, dikenang, dan dihormati sebagai Pendiri Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.
Dari Kiai Abdus Salam atau Mbah Shoichah dan istrinya, Nyai Muslimah, kelak melahirkan keturunan ulama-ulama besar. Seperti sebut saja, Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (founding father dan Rais Akbar NU), KH Abdul Wahab Chasbullah (Pendiri dan Rais ‘Am pertama NU), KH Abdul Wahid Hasyim (Tokoh NU dan Mantan Menteri Agama RI), KH Muhammad Wahib Wahab (Tokoh NU, Mantan Menteri Urusan Kerja Sama Sipil-Militer RI, dan Mantan Menteri Agama RI), KH. Abdurrahman Wahid (Mantan Ketua Umum PBNU dan Mantan Presiden RI), dan lain-lain. (Diolah dan diedit dari berbagai sumber).
Ahmad Junaedi