Kita mengenal Kendi, dimana kendi adalah tempat air seperti teko yang terbuat dari tanah liat. Kendi dikenal di seluruh dunia dan berkembang di Mesir, China, Jepang, Thailand, dan Indonesia. Kata kendi berasal dari bahasa Sanskrit India yakni “kundika” yang artinya wadah air minum.
Menurut WikipediA Sebutan kendi di Indonesia bermacam-macam khususnya adalah kendi tanpa corot (kendi seperti buah labu/botol), di Sumatera Barat wadah ini disebut labu tanah, di Jawa ada yang menyebutnya gogok, atau glogok yang katanya berasal dari bunyi yang keluar saat air dituang, di Batak disebut kandi, di Bali disebut kundi atau caratan, di Sulawesi Selatan busu, di Aceh (pesisir) geupet bahlaboh dan di Lampung hibu. Sedangkan di Gayo, Aceh dinamakan Keni.
Kendi memiliki dua macam jenis yaitu polos dan bercorak. Kendi biasanya dimanfaatkan untuk minum dan upacara adat Jawa. Orang Mesir membuat kendi yang diukir menurut budayanya.
Orang Chinamembuat kendi yang bercorak gambar naga. Orang Thailand membuat dua jenis kendi, polos dan bercorak. Orang Indonesia membuat kendi polos, tetapi memiliki gagang untuk diangkat.
Kendi di Indonesia kebanyakan merupakan hasil karya manusia pada zaman pra sejarah dengan telah banyak ditemukan pada beberapa situs pra sejarah sebelum abad ke-4, dan kedua bentuk tersebut sampai saat ini masih dibuat dan dipergunakan oleh masyarakat.
Beberapa contoh variasi bentuk dari bentuk dasar kendi dapat disebutkan antara lain di Jawa Tengah, kendi upacara dari Mayong, Pati, bercorot tiga, dua corot di antaranya palsu. Kendi ini dinamakan kendi maling, karena harus diisi dari lubang dasarnya.
Kendi dengan bentuk seperti ini juga dibuat di Bali dan Lombok, juga di tanah Gayo, Aceh terdapat beberapa kendi yang menarik, hanya mempunyai dua lobang pada bagian atasnya yang tertutup, cara mengisinya melalui salah satu lubang corot dari atas.
Di Gayo, Keni dimasukkan dalam katagori Nepa, Nepa adalah sejenis gerabah yang dalam bahasa gayo mempunyai arti meratakan tanah liat. Kerajinan Nepa banyak ditemukan di kabupaten Aceh Tengah.
Gerabah ini pada umumnya dalam masyarakat gayo digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti: periuk (Kuren) untuk memasak nasi dengan tutupnya (Kiup), untuk memasak sayur (Belanga), Piring (Capah), Cangkir (Cerek) dan beberapa kendi laki-laki dan kendi perempuan (Keni Rawan orom Banan).
Gayo sendiri merupakan nama suku yang berdomisili pada daerah yang berada di beberapa Kabupaten hasil pemekaran Aceh Tengah (Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Blang Kejeren), dan beberapa Kecamatan di Lokop Serbajadi Aceh Timur.
baru-baru ini di Gayo, tepatnya Takengon Ibu kota Kabupaten Aceh Tengah ditemukan bagian dari gerabah di Ceruk Mendale Kecamatan Kebayakan Kabupaten tersebut.
Gerabah itu merupakan hasil penelitian ekskavasi atau penggalian lanjutan dari penelitian yang sama yang dilakukan pada tahun 2009 dan 2010 lalu oleh Tim penggalian arkeologi (Eksavasi) di Ceruk Mendale dan Ujung Karang di Aceh Tengah dipimpin seorang Arkeolog ternama Drs. Ketut Wiradnyana, M.Sc.
penemuan fragmen Gerabah dengan pola hias tersebut bersama beberapa temuan menarik berupa kerangka manusia yang masih utuh selain tulang fragmen tulang manusia yang berserakan, kapak genggam, kapak persegi dan lonjong, alat serpih dari cangkang moluska, taring hewan yang bertulang, yang diperkirakan berasal dari masa 6500 tahun silam.
Namun sangat disayangkan, saat ini masyarakat gayo kehilangan keni mereka karena tidak banyak lagi yang meneruskan jejak nenek moyang mereka.
Keni saat ini terbatas pembuatannya di gayo, tidak diketahui penyebabnya secara pasti. berdasarkan informasi yang didapatkan keni gayo hanya di buat oleh intansi pemerintah pada level kabupaten dan kecamatan.
Tidak ada lagi toko-toko kerajinan tangan yang seharusnya mampu membangkitkan kembali produk masyarakat gayo karena nilai sejarah serta nilai seni yang dimiliki dari karya tersebut. Tidak hanya itu, keni gayo sudah tergolong langka di pasar tradisonal di wilayah gayo karena kurangnya sumber daya manusia yang mampu mengolahnya.
Yang sangat disesali hasil gerabah eskavasi tim arkeolog dilokasi tersebut tidak di tindak lanjuti dengan membandingkan keni gayo saat ini, dan tidak dijadikan icon daerah oleh pemerintah setempat. lalu, Keni gayo dimanakah kini?
Iwan Bahagia