Menelisik Perbedaan Pendapat Soal Piramida dalam Gunung dan Timbunan

Bookmark and Share


Andi Arief (Helmi/dok)
Politikindonesia - Setelah reformasi 1998, terjadi perubahan besar dalam sistem politik kita. Ternyata, perubahan politik juga berimbas pada perubahan dalam metodologi ilmu sosial dan politik. Termasuk dalam cara memandang terhadap sebuah fenomena.


Sikap, tingkahlaku dan kecenderungan pilihan politik rakyat, kini marak diaktualisasikan melalui metode survey. Padahal, sejak dulu metode ini sudah dipahami.

Perkembangan teknologi informasi dengan segala ornamennya, mampu mendahului metode penghitungan manual untuk menentukan hasil sebuah Pemilu.Kehadiran metode quick count, awalnya sempat memicu kontroversi. Singkat kata secara perlahan survey yang merupakan salah satu keajaiban ilmu sosial kini diterima oleh banyak kalangan.Lantas apa hubungan dengan dugaan asdanya bangunan Piramida di Gunung Sadahurip dan Gunung Padang?Saya tidak tahu persis, apakah selama ini teknologi/ alat bantuan kebumian masuk dalam ranah keilmuan. Serta sejauhmana penggunaanya dipakai para ahli.Tetapi, di kalangan dunia tambang, minyak, dan gas, teknologi ini sudah menjadi sesuatu wajib.Beberapa ahli yang berasal dari geolog murni mencoba berkolaborasi dengan para ahli yang menggunakan alat2 geofisika sebagai alat bantu, misalnya Geolistrik, Georadar, Geoseismic, peta DEM, peta IFSAR. Bahkan Geoliistrik sudah berkembang hingga mampu melihat dalam bentuk 3 dimensi superstring.

Kemajuan teknologi inilah, yang diantaranya dipergunakan oleh ahli-ahli yang ada di Tim Katastropik Purba.


Seperti hasil Quick Count yang awalnya melahirkan kontroversi, soal Piramida pun tak luput dari hal tersebut.


Para ahli geologi mulai bisa berbeda kubu. Apalagi dengan ikut masuknya geofisikawan dan geolog tambang, yang membantu geolog dengan alat geofisika dan metode lainnya seperti Auger, Coring, Trenching.


Jadi wajar-wajar saja, bila sebagian geolog yang belum mengenal peralatan geofisika beserta perkembangan teknologinya, bersuara nyaring menentang bentuk-bentuk Piramida yang berhasil dipantau para geolog dengan alat geofiksa. Sehingga isi bumi bisa dilihat oleh mereka.


Bukan untuk menyederhanakan persoalan, para geolog dengan peralatan canggih geofisika, bisa melakukan kalibrasi seperti seorang dokter kandungan menggunakan peralatan USG untuk memantau perkembangan janin dan jenis kelamin didalam perut ibunya.


Pada penelitian gunung Sadahurip dan Lalakon, kubu geolog tanpa alat geofika sangat menentang ide piramid buatan manusia dimana extrapolasi kedalam tanah terbatas hanya dari singkapan-singkapan yang tampak di permukaan tanah.


Namun, para geolog tanpa alat fisika merasa begitu yakin dengan ilmu mereka bahwa tanpa alat geofisika pun, hasil penelitian diatas permukaan memenuhi kaidah geologi kwarter untuk menjelaskan bentukan gunung Sadahurip dan Lalakon adalah alamiah.


Begitulah kira-kira potret kenapa, kontroversi soal Piramida Sadahurip dan Padang jadi mencuat tak tentu rimba. Padahal, hasil Tim Katastropik Purba masih perlu ditindaklanjuti dengan penggalian. Belum menjadi akhir dari sebuah penelitian.

Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana

(*)http://www.politikindonesia.com/m/index.php?ctn=1&k=pendapat&i=31016