“Save Our Kalumpang” 01: Peradaban Tertua Sulbar Akan Ditenggelamkan

Bookmark and Share


Sulawesi Barat hanya memiliki satu situs peradaban tertua, yang oleh para arkeolog menjadi salah satu mata rantai di dalam mengetahui perkembangan manusia pra sejarah Nusantara, yang terentang 3.500 tahun lalu. Yaitu Kalumpang.


Kalumpang tak begitu banyak diketahui, sehingga di situs ensiklopedia online, Wikipedia, hanya memiliki defenisi pendek tentang Kalumpang, “sebuah kecamatan di Mamuju, Sulawesi Barat, Indonesia”. Apalagi kita di Sulawesi Barat, mungkin hanya menganggap Kalumpang sebagai nama tempat, sebagaimana nama tempat-tempat lain di Sulawesi Barat.


Kalumpang lebih dari itu. Jika ada pengelompokkan “status sosial” tempat-tempat di Sulawesi Barat berdasar kesejarahan, maka Kalumpang berada di kasta paling atas. Ya, kita lebih banyak mendengar nama-nama situs di provinsi kita ini, seperti Tammejarra, Luyo, Salabose, dan lain-lain. Tapi, tempat tersebut sebagai situs bersejarah, masih berumur “anak bawang” dibanding Kalumpang.



Kalumpang hampir tak ada arti di mata pemerintah kita, apalagi para investor dari Cina, sehingga untuk membangun PLTA Karama, penduduk Kalumpang (dan Bonehau) tinggal direlokasi saja. Ya, tidak apa-apa kampung mereka (baca: Kalumpang) tenggelam.


Kalumpang hampir tak ada pentingnya, sehingga pembangunan PLTA Karama butuh waktu 4-5 tahun saja. Sehingga tak butuh waktu lama untuk memikirkan dampaknya, membicarakannya dalam sebuah seminar. Ya, tak perlu dilindungi, tak perlu dilestarikan atau dijaga perabannya. Tidak apa-apa hilang dibawah genangan air dam PLTA Karama. Kan, mungkin sebagian orang berpikir, tak ada gunanya juga.


Bila memang kita sepakat untuk itu (menenggelamkan Kalumpang demi sebuah proyek bernama PLTA Karama), terlalu kasar bila saya mengatakan, kita memang tidak beradab.


Kalumpang atau Galumpang (setidaknya ada enam tempat bernama “Kalumpang” di kawasan Asia Tenggara) adalah salah satu wilayah atau kecamatan di Kabupaten Mamuju. Letaknya 35 km dari pantai (persis sejajar Pelabuhan Belang-belang) atau sekitar 65 km dari kota Mamuju.


Dalam dunia arkeologi Asia, Kalumpang sangat terkenal. Ekskavasi yang pernah dilaksanakan di wilayah Kalumpang secara ringkas digambarkan sebagai berikut. Mei 1933 penggalian percobaan dilakukan oleh A.A. Cense di lembah Sungai Karama. Ditemukan sejumlah alat-alat batu dan gerabah. Penggalian tersebut memberi arti penting dalam sejarah pertumbuhan kebudayaan prasejarah Indonesia.


Kemudian pada 25 September sampai 17 Oktober 1933 penggalian oleh P.V. Van Stein Callefels di sebelah timur bukit Kamassi. Dia memperoleh temuan berbagai alat dari batu berupa pisau, kapak batu segi empat yang halus, pecahan-pecahan tembikar yang berdekorasi.


Lalu pada 13 Agustus hingga September 1949 penggalian oleh Dr. H. R. Van Heekeren, di bagian selatan puncak bukit Kamassi 13 meter di atas permukaan sungai. Ditemukan berbagai alat batu dan gerabah berhias. Alat-alat batu berupa kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat neolithic seperti yang ditemukan Luzon, Filipina, di Manchuria, Mongolia, di Hongkong, dan lain-lainnya.


Gerabah yang berhias dinilai oleh para ahli arkeologi mempunyai corak yang tinggi dan desain yang halus memberikan pertanda bahwa kebudayaan Kalumpang terlingkup satu wilayah “sahuynh kalanay”, desain yang meliputi wilayah Cina, Filipina dan Vietnam, malah diperkirakan mempengaruhi beberapa daerah Pasifik. Hipotesa itu dikemukakan oleh Solheim WG. Demikian dikemukakan Drs. Darmawan Masud dalam kertas ilmiah yang dipresentasikan pada saat Seminar Kebudayaan Mandar I di Majene pada 31 Juli s.d. 2 Agustus 1984.


Menurut salah seorang sahabat saya, yang disiplin ilmunya arkeologi dan pernah membuat film dokumenter tentang Kalumpan, Asfriyanto, “Untuk mencari bukti arkeologis mengenai pertanian orang Kalumpang purba, justru harus dicari di sekitar perbukitan yang secara spasial jauh dari tepian sungai saat ini”.



Tambahnya, “Bukti arkeologis menunjukkan, temuan beliung berbahan batu yang banyak tersebar di perut Kalumpang mengindikasikan adanya ekploitasi orang Kalumpang purba pada bidang pertanian. Hal itu dikuatkan juga melalui banyaknya temuan yang masih utuh maupun pecahan periuk dan belanga dari bahan tanah liat merah”.


Para ahli arkeologi percaya bahwa penduduk Kalumpang purba merupakan satu suku dari ras Austronesia yang membawa tradisi pertanian dan gerabah (dua artefak masa lalu yang berasosasi dengan tradisi pertanian) dari daratan Asia yang bermigrasi ke daerah ini sekitar 3.500 tahun yang lalu.


Menurut salah satu pendapat, kaki-kaki perbukitan Kalumpang telah dihuni oleh penduduk asli sebelum kedatangan orang-orang Proto Melayu pada 3600 SM. Kedatangan kaum Melayu Tua pun tak lepas dari sejarah pengusiran mereka dari kawasan pesisir pantai, akibat kedatangan peradaban baru yang dibawah oleh Deutero Melayu, yang tentu lebih hebat dari segi teknologi dan keterampilan.

Mulanya mereka menghuni daerah Sipakko, sekitar 1,5 kilometer dari pusat Kecamatan Kalumpang saat ini. Tapi, karena banjir besar akibat luapan sungai Karama sekitar seribu tahun yang lalu, warga pun terpencar- pencar. Banyak yang lari ke atas bukit karena trauma akan banjir yang telah meluluhlantakkan sawah dan pemukimannya.
Bersambung

Muhammad Ridwan Alimuddin