Yang Tersisa dari Situs Megalitik Terjan, Kabupaten Rembang

Bookmark and Share


Situs Megalitik Terjan atau sering disebut sebagai Situs Megalitik Selodiri terletak di atas bukit Selodiri, Desa Terjan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Situs ini pada tahun 1978 pernah diteliti oleh Tim Penelitian Arkeologi dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional yang waktu itu status lembaga tersebut masih Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Haris Sukendar dan Rokhus Due Awe dijelaskan bahwa Situs Megalitik Terjan merupakan tinggalan punden berundak yang berukuran cukup besar yang diperkirakan dahulu seluas Bukit Selodiri. Pada bagian salah satu puncaknya ditemukan susunan batu Temugelang atau stones enclousure yang oleh Haris Sukendar dikatakan berbentuk oval. Selain susunan batu temugelang ditemukan pula beberapa unit kursi batu. Hasil ekskavasi yang dilakukan di areal temugelang antara lain ditemukan struktur karas “kubur batu” yang di dalamnya ditemukan tengkorak dan rangka manusia yang dikubur secara terbujur dengan arah hadap kubur Tenggara – Barat Laut.




Setelah lebih dari 30 tahun masyarakat tidak lagi mendengar tentang situs megalitik yang terletak di atas Bukit Selodiri tersebut, beberapa waktu yang lalu Situs Megalitik Terjan kembali menjadi sorotan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Rembang cq. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata karena adanya pengrusakan atas situs megalitik Terjan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Beberapa buah batu berukir atau patung batu dipecah dan dirusak serta adapula beberapa batu yang sengaja dibuang. Pengrusakan cagar budaya seperti ini sangat jarang terjadi, biasanya beberapa orang atau kelompok orang melakukan pengrusakan benda cagar budaya untuk keperluan bisnis yaitu pencurian dan perdagangan illegal benda cagar budaya. Mengapa ada pihak-pihak yang ingin merusak Situs Megalitik Terjan?



Jawaban atas pertanyaan tersebut harus diawali dari satu kondisi yang fenomenal yang saat ini sedang berlangsung di wilayah Desa Terjan dan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa di wilayah Desa Terjan dan sekitarnya saat ini sedang marak adanya Proyek Penambangan Batuan Tras. Bukit-bukit di wilayah tersebut menyimpan batuan tras yang sangat baik untuk pembuata semen. Didukung oleh system perijinan (penambangan Golongan C) yang sangat mudah dan murah, dalam waktu yang tidak terlalu lama beberapa bukit tras di wilayah Desa Terjan dan sekitarnya akan habis dan rata dengan tanah. Selain dari itu, saya yakin bahwa ijin penambangan batuan tras ini tidak dilengkapi dengan studi kelayakan ataupun analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang melibatkan berbagai unsur kepentingan termasuk didalamnya adalah arkeologi. Yang terjadi justru sebaliknya, prediksi saya sebelum Bukit Selodiri mulai ditambang terlebih dahulu potensi sumberdaya budaya yang ada di lokasi tersebut dihancurkan untuk melancarkan proyek penambangan yang akan dilakukan di lokasi tersebut. Apabila prediksi saya ini benar, maka yang harus diusulkan baik kepada Pemerintah Kabupaten Rembang maupun Pemerintah Propinsi Jawa tengah adalah perlunya Studi Kelayakan dan Studi AMDAL sebelum memberikan ijin penambangan kepada para investor. Apabila hal ini dapat diberlakukan, maka potensi sumberdaya lain yang berada di perbukitan tras tersebut akan mendapatkan perhatian khusus demi kepentingan pelestariannya.



Dari sekian buah batu berukir yang telah dirusak, pada kunjungan penulis ke Situs Megalitik Terjan tanggal 5 Januari 2012 yang lalu masih menemukan sebuah arca yang menggambarkan kepala (wajah) manusia yang masih utuh belum mengalami gangguan kecuali cuaca dan gangguan alam lainnya. Dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 27 Tahun 1981, dijelaskan oleh Haris Sukendar bahwa patung kepala atau wajah yang digambarkan dengan hidung panjang dan mata bulat oleh R.P. Soejono disimpulkan sebagai pola hias wajah atau kedok yang berfungsi sebagai penolak bahaya. Berbeda dengan pendapat Haris Sukendar dan R. P. Soejono, menurut hemat saya patung wajah tersebut tidak hanya dapat dilihat dari arah depan, akan tetapi dapat pula diamati dari arah samping. Apabila dari arah depan menggambarkan wajah yang ditafsirkan sebagai topeng atau kedok, sedangkan dari arah samping batu tersebut akan menggambarkan kepala seekor binatang. Satu patung yang tersisa dari pengrusakan ternyata juga menyisakan berbagai pertanyaan penelitian yang cukup menarik. Dua jenis penggambaran yang berbeda diukir pada satu batu yang sama seperti terlihat pada foto, apakah dapat diartikan sebagai kesatuan dualisme antara manusia dan binatang? Binatang yang dimaksud dalam hal ini adalah binatang yang diyakini sebagai jelmaan nenek moyang atau kepercayaan totemisme?



1326447690372958359

Gunadi Kasnowihardjo