27 Desember 1949 Adalah Hari Kemerdekaan Indonesia?

Bookmark and Share


  • Eh, ada yang tahu tidak bagaimana prosesi detik-detik mangkatnya kolonial Belanda di bumi pertiwi ini?

  • Atau alasan kenapa sampai saat ini Belanda menganggap bahwa kemerdekaan Indonesia ialah 27 Desember 1949? bukan 17 Agustus 1945.

  • Jawabannya…. pasti banyak yang tidak tahu. Ya iyalah, selama ini kan tidak ada satu buku teks pun yang menjelaskannya. But don’t worry, dikesempatan kali ini, saya akan jelaskan bagaimana prosesi detik-detik terakhir tersebut. Tentu saja dengan menggunakan salah satu arsip berbentuk video yang diambil dari http://www.youtube.com/watch?v=YOBe-tDf3Bs.

  • Video ini dibuat oleh The Ducht Polygoon-Profilti, yaitu perusahaan Belanda yang bergerak dalam pembuatan film dokumenter dari tahun 1919-1987. Karena video ini dibuat oleh orang-orang Belanda, tentu saja di dalamnya menggunakan bahasa Belanda. Oke, saya persilakan ditonton terlebih dahulu.

  • Bagaimana, sudah ditonton? Pasti terkesima. So pasti, orang barat sih yang buat. Walaupun durasinya hanya 4 menit 45 detik, saya rasa sudah cukup menggambarkan.

  • Sekarang, tiba giliran saya untuk menjelaskan “serba-serbi” di dalam video itu.




Kronologi
Setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945―sebagai suatu bangsa dan negara yang baru―ternyata Belanda belum dapat menerimanya. Mereka beranggapan bahwa proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan itu bersifat sepihak, tanpa ada negosiasi dan sepengetahuan dari wilayah lainnya terutama pihak Jepang sendiri (pengakuan resmi). Maka itu, van Mook kemudian menyebutnya sebagai kemerdekaan yang illegal.
Karena illegal, Belanda dan sekutu merasa sah untuk mengambil alih (kembali) pemerintahan yang ditinggalkannya saat dikalahkan Jepang tahun 1942. Jalan pertama yang dilakukannya adalah menempati kembali pusat pemerintahan dahulunya di Jakarta. Sehingga pusat pemerintahan Indonesia yang awalnya berada di Jakarta dipindahkan ke Yogyakarta tahun 1946 dengan alasan keamanan.
Selama tahun 1946 juga, revolusi kemerdekaan di berbagai wilayah mulai meletus. Rasa nasionalis untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangi melalui teks proklamasi mulai tumbuh di mana-mana. Hal inilah yang akhirnya membuat Belanda kian terdesak. Di lain sisi, pada tahun ini pula, sekutu berangsur-angsur menyerahkan sepenuhnya Indonesia kepada Belanda termasuk persoalan pembentukan Republik Indonesia Serikat. Akhirnya karena pergolakan kian hari kian besar, van Mook memutuskan untuk mengadakan perundingan dengan wakil Indonesia pada tahun 1947 di Linggarjati, dalam hal ini Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir. Dalam perundingan itu disepakati bahwa Belanda secara de facto mengakui negara Republik Indonesia atas Sumatera, Jawa, dan Madura. Tujuan pengakuan ini untuk meredam terdengarnya persoalan ini ke telinga PBB.
Namun pada kenyataannya, persoalan ini pun terdengar juga oleh PBB, dewan keamanan PBB mulai memojokkan Belanda karena bertindak aragon (melakukan agresi militer setelah melakukan perjanjian Linggarjati) terhadap negara yang telah menyatakan diri merdeka, apalagi negara ini sudah mendapatkan pengakuan resmi dari Mesir. Maka dari itu, Belanda kemudian menghentikan agresi militernya dengan sekaligus mengikat perjanjian Renvilee tahun 1948. Namun lagi-lagi Belanda ingkar dengan perjanjian itu, mereka memutuskan untuk menyerang pusat pemerintahan Indonesia di Yogyakarta pada akhir tahun 1948. Akibat dari perbuatan ini, seluruh dunia kembali mengecam Belanda karena belum juga menunjukkan iktikad baik dalam memecahkan permasalah ini.
Akhirnya pada Mei 1949, Belanda bersedia mengadakan perudingan Roem-Roeyen sebagai usaha untuk meredam hujatan dunia tersebut. Di dalam perundingan itu, Belanda berjanji akan mengadakan konferensi Meja Bundar (KMB) dalam proses menuju kemerdekaan negara Republik Indonesia. Akhirnya tepat pada tanggal 23 Agustus 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia (Serikat) dalam perjanjian KMB di Den Haag. Penandatangan pengakuan kedaulatan dan penyerahan kekuasaan akan diselenggarakan kemudian di Istana Gambir (Merdeka), Jakarta, pada tanggal 27 Desember 1949.
Prosesi Upacara Pengakuan Kedaulatan dan Penyerahan Kekuasaan Belanda Kepada Indonesia.
Pada bagian ini, saya akan berupaya menggambarkan bagaimana prosesi detik-detik “mangkatnya Belanda dari bumi pertiwi ini”. Tentu saja mangkat di sini adalah pengakuan kedaulatan dan penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia sehingga Belanda sudah tidak punya hak dan kedudukan apa pun (lagi) terhadap Indonesia.
Prosesi ini sebagaimana saya katakan sebelumnya diadakan pada tanggal 27 Desember 1949 di Gedung Istana Gambir (Merdeka), Jakarta. Sebagai ketua dari delegasi Belanda adalah A.H.J. Lovink yang memang saat itu ditunjuk sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, sedangkan dari pihak Indonesia sendiri diwakili oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Penunjukan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil dari Indonesia mempunyai alasan kuat. Karena memang selain Sultan paham bahasa Belanda, dia juga dianggap tokoh yang mempunyai kedudukan dan berperan penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai tahun 1949.
Acara prosesi pengakuan kedaulatan dan penyerahan kekuasaan kepada Indonesia dibuka dengan sebuah pidato singkat dari A.H.J. Lovink. Dalam pidato itu ia menyampaikan pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia dan berharap Indonesia tetap menjalin kerjasama dengan Belanda walaupun telah menjadi negara yang merdeka. Setelah itu barulah diikuti dengan penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dan ucapan terima kasih.
13561739941110899859
Snapshot. Penandatangan naskah pengakuan kedaulatan Indonesia dari pihak Belanda yang diwakili A.H.J. Lovink.
1356174143298798259
Snapshot. Tampak Raja Saudi Arabia, King Abdul Aziz datang menyaksikan peristiwa penandatanganan naskah tersebut.
Setelah prosesi penandatangan naskah pengakuan kedaulatan Indonesia selesai, ada kejadian menarik di dalam gedung tersebut, yaitu tatkala Ratu Belanda, Juliana, melakukan panggilan langsung (direct call) dari Amsterdam untuk mengucapkan selamat kepada Indonesia. Dengan didukung perangkat pembesar suara (speaker, toa), Ratu Juliana berbicara seakan-akan hadir di dalam gedung tersebut.
Suaranya terdengar membahana dan membuat suasana di dalam gedung berubah menjadi hening, kidmat, dan khusyuk. Apalagi ditambah dengan protokolernya yang mengharuskan seluruh orang yang ada di dalam ruangan tersebut berdiri selama mendengarkan suara Ratu Juliana. Benar-benar kejadian yang aneh, ternyata dengan suara seorang ratu saja, orang Belanda bisa sedemikian rupa memperlakukannya. Bagaimana dengan di Indonesia? Jangan sampailah.
1356188796456817833
Snapshot. Saat para hadirin di suruh berdiri selama mendengarkan Ratu Juliana berbicara dengan hanya menghadirkan suara.
13561890622044753086
Snapshot. Suara Ratu Juliana diperdengarkan melalui pengeras suara (speaker).
Setelah selesai mendengarkan Ratu Juliana berbicara melalui panggilan langsung dari Amsterdam. A.H.J. Lovink langsung mengomandoi delegasinya untuk keluar dari gedung guna mengikuti upacara penuruanan bendera triwarna Belanda di luar gedung Istana Gambir (Merdeka). Dalam upacara itu banyak rakyat Indonesia yang menyaksikan. Kemudian dilanjuti dengan penaikan sang saka bendera merah putih di atas Gedung Istana Gambir (Merdeka). Sejak peristwa inilah Gedung Istana Gambir berubah nama menjadi Gedung Istana Merdeka. Karena sesaat setelah penaikan bendera merah putih, banyak orang yang berteriak “Merdeka.”
13561891901300308192
Snapshot. Bendera triwarna Belanda diturunkan.
1356189234453210581
Snapshot. Bendera dwiwarna Indonesia dinaikan.
Dengan berakhirnya upacara penurunan bendera triwarna Belanda di Gedung Istana Merdeka, maka berakhir pula kekuasaan Belanda di Indonesia yang konon telah bertahan selama 350 tahun. Bagi A.H.J. Lovink sendiri, ia adalah orang terakhir yang melambaikan salam perpisahan itu untuk seluruh rakyat Indonesia.
13561893291372214750
Snapsot. Lambaian terakhir Belanda untuk Indonesia yang diwakili A.H.J. Lovink.
Saatnya Membangun Bangsa
Pada tanggal 28 Desember 1949, atau sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda untuk Indonesia, Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta di Bandara Tjililitan (Halim Perdana Kusuma) dengan menggunakan Garuda Indonesia Airways. Kedatangan Soekarno langsung disambut riuh oleh ratusan orang yang sudah sedari tadi memadati landasan pacu tersebut.
Dengan menggunakan mobil beratap terbuka, Soekarno kemudian diarak menuju Gedung Istana Merdeka. Terlihat pula Ibu Fatmawati beserta anak-anaknya turut menyertai Soekarno, hanya saja di dalam mobil yang berbeda.
Dari arak-arakan ini, satu hal yang saya tangkap adalah model arak-arakannya mirip dengan pemimpin-pemimpin revolusi di Eropa, salah satunya Adolf Hitler. Saya sebenarnya belum tahu pasti apakah model arakan Soekarno ini adalah ikut-ikutan dari model arakan-arakan Adolf Hitler atau tidak, tetapi yang jelas kedua tokoh ini memiliki kesamaan dalam cara menarik simpatik, dan memiliki kharismatik.
1356189478209348900
Snapshot. Arak-arakan Soekarno menuju Gedung Istana Merdeka.
Setelah Soekarno tiba di Gedung Istana Merdeka, dia langsung digiring ke depan Istana dan berpidato singkat. Dalam pidatonya―yang terkenal provokatif―menyampaikan bahwa kemerdekaan ini adalah hasil bersama seluruh rakyat Indonesia. Beberapa kali pula dia berhasil menciptakan riuh ribuan orang yang menyaksikan pidatonya dengan hanya menggunakan kata “Merdeka!!”.
1356189579132471379
Snapsot. Pidato Soekarno di depan Gedung Istana Merdeka.
Serba Serbi
13561897141463455571
Tahukah Anda? Pesawat yang membawa Soekarno ini adalah pesawat pertama yang dimiliki Indonesia. Pesawat ini dibeli dengan harga 120,000 dolar Malaya yang merupakan hasil sumbangan rakyat Aceh.
13561898191961368147
Tahukah Anda? Penandatangan naskah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 adalah penandatangan pengakuan bahwa sejak tanggal inilah Belanda menyatakan Indonesia merdeka, bukan tanggal 17 Agustus 1945, sehingga dampaknya, orang Belanda saat ini hanya mengenal bahwa Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949.
Robby Anugerah