Menelusuri Arsip Perdagangan di Hindia Timur

Bookmark and Share



Memang terkesan meremehkan sekali ketika Sting menyanyikan baris pertama dari Forget About the Future, mengganggap sejarah hanya sebagai … some history. Lebih meremehkan lagi sewaktu Sting secara sarkasme berkali-kali menutup setiap bait lagu dari album Sacred Love tersebut seraya berteriak lantang: “So forget about the future. And let’s get on with the past…. It’s just too hard thinking about the future. So let’s just get on with the past…. Let’s just forget about the future. And get on with the past.” Bagi Sting: “I know we got some history. We got some issues that we need to solve. Bagi saya, Sting hanya ingin mengajak kita untuk memahami sejarah-sebagaimana-tertulis secara lebih bijak karena sejarah-sebagaimana-terjadi pun hanya sampai kepada generasi kini melalui buku-buku teks sejarah atau mungkin buku-buku resmi keluaran pemerintah. Maka arsip sebagai sumber primer wajar saja mengemuka sebagai bahan pembelajaran sejarah, apabila kita ingin mendekati sumber sejarah sedekat mungkin.
Berpikir Menyejarah
Menurut Samuel Wineburg (2007) bahwa disiplin sejarah bermakna ganda, serupa namun berbeda. Pengertian pertama: “… the disciplines of the university: those bodies of knowledge that have accrued over generations, each with its own distinctive means of investigation and form of argument.” Pengertian kedua yang merupakan makna sejatinya bahwa disiplin sejarah merupakan … “the opposite of disorderly, slovenly, whimsical, and capricious. In this sense of discipline, history teaches us to resist first-draft thinking and the flimsy conclusions that are its fruits.” Lebih lanjut tulis Sam Wineburg bila kita menelantarkan pembelajaran sejarah maka: “… we are destined to be history’s victims rather than its students.”
Saya kembali teringat ucapan Benedetto Croce sewaktu masih kuliah dahulu bahwa “every true history is contemporary history.” Begitu pula setiap historiografi atau penulisan sejarah pun layak diperbarui sebagaimana ungkapan pelurusan sejarah yang terus-menerus terjadi sepanjang terdapat: teori baru, sudut pandang baru, dan tentu saja sumber baru. Lebih-lebih bila sumber baru tersebut merupakan sumber primer. Di sinilah mengemuka perihal akses atas arsip yang salah satunya tersedia melalui ketersediaan sarana bantu temu balik atau finding aids: daftar, inventaris, dan guide.
Lebih lanjut apabila terbuka akses atas sumber primer maka: “… the archives thus represent an opportunity to go beyond the sterile, seamless quality of most textbook presentations to engage with real people and authentic problems.” Lalu: “… fragmentary, idiosyncratic, and often contradictory nature of primary documents can help students understand the problematic nature of historical evidence and the need for critical thinking about sources and bias (Bill Tally and Lauren B. Goldenberg, 2005).
Sekalipun sumber primer, arsip bukan sama sekali bebas kritik. Memang arsip dapat lulus dari kritik ekstern, namun sangat sulit lulus dari kritik intern sebagaimana menurut Sartono Kartodirdjo (Koentjaraningrat [ed.], 1997: 57): “… tidak dilakukan usaha untuk mengadakan kritik ekstern terhadapnya. Sebaliknya, kritik intern sangat diperlukan.” Lebih lanjut Kartodirdjo (1984) menyatakan“… bahwa pembuatan dokumen sebagai ciri esensial dari birokrasi modern, lazimnya menjadi suatu pekerjaan rutin bagi para pejabat pemerintah. … dilakukan dalam waktu mendesak …. dipengaruhi prasangka…. ditulis pejabat pemerintah kolonial dengan pandangan tertentu terhadap masyarakat bumiputera…. terlalu sepihak.” Menurut Kartodirdjo pula (1993: 16): “Sejak ilmu diplomatik diciptakan oleh Mabillon (1632-1707) pemakaian dokumen sebagai sumber sejarah memerlukan kritik intern maupun kritik ekstern.
Sudut Pandang Baru
Bagi arsiparis, kami seperti tertantang sewaktu membaca tulisan Terry Cook (1997): “Archivists have therefore changed over the past century from being passive keepers of an entire documentary residue left by creators to becoming active shapers of the archival heritage.” Para arsiparis semakin mendekati sejarawan, terutama dengan menyusun guide: menyodorkan tema penelitian. Begitu pula sewaktu membaca tulisan Sam Wineburg (2010): “Most important of all, these questions transform the act of reading from passive reception to an engaged and passionate integration.” Berpikir menyejarah tidak hanya merupakan milik para sejarawan namun semestinya miliki setiap kita: murid, mahasiswa, guru, dan arsiparis. Historical mindedness—serupa historical thinking—merupakan kemampuan yang dapat siapa saja miliki. Bagaimana para pembaca memahami arsip sebagai sumber sejarah yang sejaman, resmi, dan primer; membayangkan bagaimana peliknya peristiwa masalampau sampai kepada kita, membayangkan bagaimana ‘sederhananya’ suatu peristiwa masalampau yang terekam dalam arsip, dan betapa ‘sedikitnya’ sejarah-sebagaimana-terjadi yang sampai kepada kita lewat sejarah-sebagaimana-tertulis. Kelak lewat pembacaan menyejarah tersebut tercapailah sebagaimana Sam Wineburg dan Daisy Martin (2004): “Reading primary and secondary sources constitutes the heart of such an investigate curriculum, but reading is only one part of two-part equation: It must be accompanied by writing.” Lebih lanjut menurut Wineburg dan Martin (2004): “Literacy is the keyword here, because the teaching of history should have reading and writing as its core.” Demikianlah, membaca dan menulis merupakan dwitunggal apabila kita hendak lebih bijak memahami sejarah, baik sebagai pembelajar, peneliti, maupun wisatawan.
Selama ini, perihal sudut pandang kental mewarnai penulisan sejarah, sembari jarang sekali memperhatikan keberadaan arsip sebagai sumber primer itu sendiri: siapa yang menyusun, kapan waktu penyusunan, ejaan tulisan, latar belakang sejarah, jenis kertas, dan hal-hal intern juga ekstern lainnya. Tibalah waktunya ketika pendulum dilema sudut pandang mengayun ke arah semestinya yaitu sejarah sebagaimana tertulis seperti Leopold von Ranke pernah sodorkan (Kartodirdjo, 1997: 30). Anthony Reid-lah yang kembali menggaungkan gema bahwa sejarah semestinya berdiri tegap di atas kemanusiaan. Menurut Reid (I, 1992: xxx):
Selama paruh pertama abad ini, sejarah kolonial telah menciutkan mereka (Asia Tenggara [red.])melulu sebagai latar yang kabur di tengah-tengah ekspansi besar dari Barat. Banyak sejarah nasionalis telah memperparah gambaran itu dengan memperlakukan bangsa-bangsa Asia lebih sebagai korban-korban tidak berdaya daripada sebagai pelaku-pelaku sejarah, atau mencoba memperbaiki hal ini dengan mengisolasikan kawasan yang ditelaah dari kekuatan-kekuatan serta perbandingan antarnegara.
Menuju Guide Perdagangan Global di Hindia Timur 1613-1812
Bagi kami sebagai arsiparis setiap kali menyusun guide, kami berkesempatan memeriksa kembali keberadaan arsip tersebut melalui sarana bantu temu balik atau finding aid sebelumnya seperti daftar dan inventaris, mencocokkan kembali nomor yang tertera pada daftar dan inventaris dengan boks arsip, serta tentu saja memeriksa keadaan fisik arsip tersebut: apakah masih bisa dipinjam dan layak baca. Namun lebih daripada itu semua, kebahagiaan kami sebagai arsiparis adalah ketika arsip yang sudah selesai kami olah (arrangement and description) dapat membantu siapa saja untuk telusuri masalampau. Maka dari itu, kami menyusun guide arsip untuk mendekatkan informasi yang terekam dalam arsip dengan para penelusur arsip.
Menurut Society of American Archivists (SAA), guide adalah a broad description of the holdings at one or more archives, typically at the collection level. Memang sudah merupakan tugas kami—para arsiparis Direktorat Pengolahan—menyusun sarana bantu temu balik atau finding aids seperti daftar, inventaris, dan guide sebagaimana tercantum dalam Pasal 90 ayat 2 serta Pasal 97 ayat 1 dan 2 dari Undang-Undang Nomor 43/ 2009 tentang Kearsipan. Guide merupakan panduan penelusuran arsip lanjutan, lebih mendekati sejarah daripada inventaris (inventory). Menurut SAA pula, inventory adalah a finding aid that includes, at a minimum, a list of the series in a collection. Lebih lanjut, SAA membagi dua guide: repository guide atau interrepository guide dan subject guide atau thematic guide. Guide pertama adalah a guide covering several repositories’ holdings. Guide kedua adalah a guide that describes collections relating to a specific subject (http://www2.archivists.org/glossary/terms). Menimbang pemilahan tersebut, maka Guide Arsip Perdagangan Global di Hindia Timur 1616-1810 merupakan guide kedua: subject guide atau thematic guide.
Diskusi demi diskusi mematangkan kami untuk memilih tema perdagangan. Katakunci kejayaan Nusantara sungguh menguras pikiran dan semangat kami, apakah Nusantara pada Abad XVII-XVIII berjaya? Namun kami berhasil melampaui itu dengan kembali kepada arsip. Mulanya Guide tersebut hanya membahas perjanjian karena pertimbangan empat alasan. Pertama, kontrak merupakan sebentuk diplomasi tertulis yang merekam tawar-menawar posisi penguasa bumiputera dengan Kompeni, sekaligus keterdesakan Kompeni oleh bumiputera. Sebagaimana terjadi di Banten pada 10 Juli 1659 yang merupakan kesepakatan damai/ gencatan senjata antara Abulfath Abdulfattah alias Sultan Ageung Tirtayasa dengan GG Maetsuijker, terjadi karena Kompeni terdesak. Begitu Abunnashr Abdulqahhar menjadi Sultan Haji, para pihak yang terlibat (Pangeran Dipaningrat, Kiai Suko Tajuddin, Pangeran Natagara, dan Pangeran Natawijaya dari pihak Banten; Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, dan Evenhart van der Schuer dari pihak Kompeni; dan Kapten Melayu Wan Abdul Bagus) menyepakati perjanjian pada 17 April 1684.
Kedua, merekam para tokoh yang ikut menandatangani, komoditas (bahan tambang, hasil bumi, dan budak) yang diserahkan baik karena jual-beli—dengan penentuan harga secara sepihak—maupun ‘upah suksesi’, wilayah dan batas-batasnya (tumbuh-kembang meluas dan menyempit wilayah kesultanan, juga perpecahan Kesultanan seperti di Mataram dan Cirebon). Baik para tokoh dari pihak bumiputera yang biasanya terdiri dari penguasa (biasanya bergelar sulthan, termasuk pula mangkubumi dan penasihat) dan ulama atau agamawan maupun dari pihak kompeni yang biasanya terdiri dari gouvernour generaal, kepala unit VOC yang mengurus perihal kontrak atau kesepakatan, komandan perang, dan juru tulis.
Ketiga, baik dua kolom/ dwibahasa maupun tiga kolom/ tribahasa menegaskan keterbukaan dan kesejajaran posisi kedua belah pihak. Bahkan menarik mencermati perbandingan padanan kata, frasa, dan lema antarbahasa tersebut. Kontrak yang terdiri dari dua kolom/ dwibahasa menggunakan bahasa Belanda Kuno dan Arab Melayu. Adapun kontrak yang terdiri dari tiga kolom/ tribahasa selain menggunakan kedua aksara dan bahasa tersebut juga menggunakan aksara dan bahasa Jawa sebagaimana pada kesultanan yang pernah di bawah pengaruh Kesultanan Mataram.
Keempat, menandakan pentingnya budaya tulis sebagai bukti ubli. Setiap kali penguasa berganti, maka kesepakatan yang pernah Kompeni jalin dengan penguasa sebelumnya turut diperbarui. Pembaharuan kesepakatan tersebut biasanya berjudul acte van ratificatie atau acte van renovatie. Mungkin saja kebijakan penguasa pengganti sama sekali berbeda dengan penguasa sebelumnya, sehingga memicu perlawanan. Interpretasi atas kesepakatan seringkali berbeda satu sama lain karena kendala bahasa. Pada kenyataannya, kehadiran bangsa Eropa terutama Belanda memberikan semangat baru untuk selalu merekam kesepakatan secara tertulis tidak lagi berdagang barter secara lisan. Hanya saja perbedaan bahasa harus sungguh-sungguh para pengguna arsip cermati.
Akan tetapi, tema perdagangan ternyata lebih menarik. Jauh lebih menarik karena tiga alasan. Pertama, masih sedikitnya kajian—terutama perdagangan dan ekonomi lokal—seputar periode Hindia Timur (Oost Indie) terutama bila dibandingkan dengan Hindia Belanda (Nederlands Indie). Arsip sebagai sumber primer kiranya dapat menyeruak peristiwa sejarah waktu itu.
Kedua, apa yang terjadi pada bentangan periode dua abad tersebut bukan semata penjajahan namun hubungan perdagangan yang bersifat global, pengakuan keberadaan kedua belah pihak secara setara, sebagaimana tersurat dalam perjanjian yang berbahasakan tiga: Belanda, Arab-Melayu, dan Jawa.
Ketiga, pelurusan periode yang selama ini cenderung hanya pada periode keberadaan VOC sepanjang 1602-1799. Padahal periode arsip VOC menjangkau jauh setelah pembubaran resmi VOC pada 1799, seperti yang tersurat dalam Guide pada sub-bab budak dan tambang yang berawal pada 1616 dan sub-bab kayu yang berawal pada 1810, periode yang resminya merupakan kepemimpinan Herman William Daendels (1808-1811). Begitu pula The Archives of the Dutch East Indies Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia Jakarta yang merangkum berbagai inventaris antara lain: Archief van de gouverneur-generaal en raden van Indië (Hoge Regering) van de Verenigde Oostindische Compagnie en taakopvolgers, 1612-1812; Archief van de commissarissen-generaal S.C. Nederburgh, S.H. Frijkenius c.s. van de Verenigde Oostindische Compagnie en taakopvolgers (Hoge Commissie) 1791-1799; Archief van de Algemene Rekenkamer, 1808-1811; Archief van de Raad van Justitie, 1620-1809; Archief van het College van Heemraden te Batavia, (1664) 1682-1807 (1809); Archief van de Boedelkamer van Chinese en onchristen Sterfhuizen, 1720-1872; Archief van de Bank van Lening Bank-Courant te Batavia, 1746-1814; Stukken afkomstig van het Vendukantoor te Batavia, 1737-1776; Archief van de Amphioensociëteit en Amphioendirectie te Batavia, 1745-1880; Inventaris van het notarieel archief van Batavia, 1621-1817 en notariële archieven afkomstig van diverse buitencomptoiren, voornamelijk Surabaja (1811-1828); Doop- trouw- en begraafboeken of retroacta Burgerlijke Stand (1616-1829); dan Archief van Engelhard, 1750-1832. Dus, periode arsip VOC dan periode VOC berbeda. Kerangka karangan yang tadinya berdasarkan arsip daerah atau gewestelijke bestuuren seperti Daftar Sementara Borneo’s Zuid en Oostkust 1677-1890, Daftar Makassar 1638-1857, Daftar Benkulen 1750-1865, Daftar Palembang 1683-1890, Daftar Sumatra’s West Kust 1660-1876, Daftar Banten 1674-1891, Daftar Palembang 1683-1890, Inventaris Pekalongan, Inventaris Japara, Inventaris Ambon, Inventaris Gorontalo 1810-1865, Inventaris Banda 1623-1890, Daftar Riouw 1621-1913, Inventaris Ternate 1667-1899, Inventaris Manado 1677-1914, Daftar Preanger Regentschappen 1760-1871, Daftar Cheribon 1768-1921, Daftar Timor 1706-1880, Inventaris Borneo Westersafdeeling 1609-1890, Inventaris Yogyakarta 1724-1891 (1903), dan Inventaris Surakarta 1646-1890 (1906) pun berganti.
Bahasan Guide berganti menjadi berdasarkan komoditas perdagangan yang disusun secara alfabetis-kronologis seperti beras (rijst) dan padi (paddij) sebanyak 24 nomor; budak (slaven) sebanyak 27 nomor; candu (amphioen) sebanyak 35 nomor; cengkeh (nagel) sebanyak 19 nomor; garam (zout) sebanyak 46 nomor; gula (poeder suijker), tebu (suijker landen), dan gula palem (palmsuijker) sebanyak 11 nomor; kayu (hout) yang mencakup cendana (sandelhout), jati (teakhout), dan kayu sapan (sappanhout) sebanyak 55 nomor; kayumanis (canelboom) dan minyak kayumanis (kanneel lamp olij) sebanyak 3 nomor; kopi (coffie, koffij) sebanyak 14 nomor; lada (peper, peeper) sebanyak 65 nomor; nila atau tarum (indigo) sebanyak 17 nomor; pala (foelij) dan bunga pala (nootmuschat[ten]) sebanyak 15 nomor; tambang yang mencakup timah (tin), perak (zilver), metal, dan besi (ijzer) sebanyak 172 nomor; dan serba-serbi yang mencakup cangkang kura-kura (Schilpadshoorn), sarang burung (Vogelnetjes), kacang hijau (groene katjang), gading gajah (elephant tanden), lilin (wax), kapurbarus (camphor, camphorolij), kain katun, dan benzoin sebanyak 10 nomor. Saya selaku editor mencatat bahwa setiap arsip menerakan lebih dari satu komoditas, jadi terbuka lebar kemungkinan dari satu arsip (daftar/ inventaris tertentu dan nomor tertentu) muncul beberapa kali dalam beberapa sub-bab komoditas terkait. Jadi meskipun terdapat 513 nomor, jumlah nomor arsip sebenarnya kurang dari jumlah tersebut.
Sekalipun tidak lagi mengulas kontrak atau perjanjian, beberapa arsip kontrak menerakan beberapa komoditas yang disepakati sebagai ‘pemberian rutin’ dari para penguasa lokal kepada Vereenigde Neederlandtsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC). Terlihat dari jumlah nomor arsip tersebut, tambang merupakan komoditas yang paling sering arsip rekam. Lalu menyusul lada, kayu, candu, budak, beras, cengkeh, nila, kopi, serba-serbi, dan kayumanis. Saya juga mencatat berdasarkan letak geografis yang terlihat dalam inventaris. Beras tersebar secara merata di Jawa seperti di Surakarta, Pekalongan, Pesisir Barat Sumatera, dan Kepulauan Timur seperti Ternate, Tidore, Manado, dan Banda; kecuali di Kalimantan. Budak terutama berasal dari Timor, Ternate, Ambon, dan Banda. Candu pun demikian, kecuali di Kalimantan. Cengkeh hanya berasal berasal dari Banda, Ternate, dan Ambon. Garam terutama terdapat di Pesisir Barat Sumatera dan Jawa tepatnya di Rembang, sebagian kecil berada di Sumenep dan Surabaya. Gula tersebar merata, kecuali di Kalimantan. Kayu terutama terdapat di Pesisir Utara Jawa seperti Cirebon dan Tangerang. Kayumanis terdapat di Pesisir Barat Sumatera, Manado, dan Timur. Kopi yang mestinya terkait dengan Preanger Stelsel ternyata tidak hanya terdapat di Priangan (hanya terdapat 1 nomor), namun juga di Japara, Pekalongan, Ambon, Surakarta, dan Banjarmasin. Sebagian besar lada bersanding dengan emas, terutama terdapat di Sumatera dan Jawa, serta sedikit di Banjarmasin Kalimantan. Nila terutama berasal dari Timor, Ambon, Surakarta, dan Banten. Kelimabelas nomor arsip tentang pala terdapat di Ambon, Banda, dan Timor. Tambang terutama terdapat di Pesisir Barat Sumatera dan Kalimantan.
Bentangan periode pun beragam. Cengkeh dan kayu sama-sama berawal pada 1613, namun cengkeh berakhir pada 1812 sedangkan kayu berakhir pada 1810. Budak dan tambang sama-sama bermula pada 1616, namun budak berakhir 1809 sedangkan tambang berakhir pada 1802. Candu dan pala sama-sama berakhir pada 1795, namun candu berawal pada 1677 sedangkan pala berawal pada 1667. Garam dan gula sama-sama berakhir pada 1805, namun garam berawal pada 1649 sedangkan gula berawal pada 1678. Beras dan candu sama-sama berawal pada 1677. Adapun beras, lada, dan tambang sama-sama berakhir pada 1802. Lada sepanjang 1660-1802. Kopi sepanjang 1706-1811. Nila sepanjang 1703-1805. Terlihat pula pada paruh pertama Abad XVII bahwa cengkeh, kayu, budak, tambang, dan garam merupakan komoditas yang paling banyak terekam dalam arsip. Memasuki paruh kedua, komoditas perdagangan mencakup lada, beras, candu, dan pala mulai terekam dalam arsip. Pada paruh pertama Abad XVIII, nila dan kopi pun ikut terekam dalam arsip. Kecuali kayumanis, candu, dan pala; komoditas lainnya berakhir pada awal Abad XIX.
Sementara dapat mengemuka simpulan bahwa pada awal berdirinya VOC pada 1602, tidak serta merta langsung berdagang, meski komoditas seperti lada sudah para pedagang lokal perjualbelikan pada masa sebelumnya. Rempah-rempah merupakan komoditas utama pada Abad XVII. Adapun kopi yang merupakan komoditas impor sejak VOC pertama kali perkenalkan pada awal Abad XVIII. Sejak 1684, VOC mulai memonopoli Lampung sebagai penghasil lada yang masih merupakan bagian dari Kesultanan Banten. Sejak 1621, VOC mulai memonopoli Kepulauan Banda sebagai penghasil lada. Mengutip Leirissa (1974: 19), barulah pada 1731 VOC terlibat secara politik dengan para penguasa lokal di Jawa, Palembang, dan Kalimantan Tenggara; yang memang terkait erat dengan monopoli perdagangan yang VOC kuasai. Kegiatan jualbeli rempah-rempah menandai meningginya ikatan VOC dengan kawasan penghasil lada, terutama di luar Jawa, berawal dari ekonomi lalu berlanjut politik.
Sebagai penutup, kutipan tulisan Anthony Reid (I, 1992: 277) pantas mengemuka:
Bangsa-bangsa Asia Tenggara tetap merupakan pelaku utama … hingga abad ketujuh belas. Perdagangan telah …, memperkuat kalangan elite dan negara-negara …. Akan tetapi, ‘revolusi niaga’ pada pertengahan abad ketujuh belas secara radikal telah mengalihkan …. Gerak perubahan melamban … bahkan terbalik, kota-kota bumiputera merosot, mundur dari perniagaan internasional, atau dikalahkan monopoli dagang Belanda. Isolasi relatif yang kemudian berlaku membuat tanah di bawah angin tetap membawa hingga abad kesembilan belas banyak dari ciri-ciri yang terbentuk pada abad kelima belas dan keenam belas. Namun, tatkala pasang naik imperialisme dan kapitalisme membanjiri mereka pada akhir abad kesembilan belas, negeri-negeri ini tidak lagi mampu bersaing atas patokan-patokan yang sama dengan bangsa-bangsa pengusik, seperti yang berlaku selama kurun niaga mereka.
Kami berharap arsiparis sebagai salah satu pihak yang berkaitan dengan sejarah publik sebagaimana Michael Gordon tulis dapat turut merayakan saling mendekatnya arsip dengan sejarah, dan pada akhirnya publik-lah yang beragam latar belakang ikut meramaikan historiografi Indonesia. Kiranya tulisan Kartodirdjo (1997: 32) dapat merangkum keterkaitan erat sejarah dengan arsip, dan tentu saja sejarawan dengan arsiparis:
…. Jangan mengumpulkan bukti-bukti sebelum berpikir, sebab berpikir berarti menanyakan permasalahan, dan tidak ada bukti-bukti kecuali dalam kaitannya dengan suatu permasalahan.
Bagi sejarawan sumber atau dokumen apa saja dapat menjadi bukti apabila dipakai untuk memecahkan suatu persoalan, dan sebaliknya, dari sekian banyaknya dokumen di arsip, kita tidak mengetahui mana yang berguna sebagai bukti sebelum ada yang menggunakannya. Barangkali uraian di atas dapat sekedarnya menjelaskan apakah sejarah itu, apakah peran sejarawan, dan apakah peran dokumen-dokumen dalam studi sejarah.
…. Pesan yang penting dari uraian saya ialah betapa pentingnya peranan dokumen dalam kehidupan masyarakat kita, dan betapa pentingnya peranan dokumen dalam kehidupan masyarakat kita, dan betapa pentingnya peranan Arsip Nasional dalam mengelola koleksi-koleksi dokumen itu….

Terdapat dalam album Sacred Love keluaran A&M pada 30 September 2003 ketika Amerika Serikat dan Inggris bersiap-siap menyerang Iraq dan Tragedi 11 September baru saja terjadi dua tahun sebelumnya. Keterangan lebih lanjut bisa lihat http://www.sting.com/discography.

Menurut Gilbert J. Garraghan (1948: 3) bahwa sejarah memiliki tiga arti: past human events: past actuality, the record of the past human events or past actuality, dan the process or technique of making the record. Lihat juga Kartodirdjo (1993: 14-15): “Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, … bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. … Sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya.
finding aid adalah a tool that facilitates discovery of information within a collection of records atau a description of records that gives the repository physical and intellectual control over the materials and that assists users to gain access to and understand the materials http://www2.archivists.org/glossary/terms/f/finding-aid.
Public history most often refers to the employment of historians in history-related work outside of academia, and especially to the many ways in which historians recreate and present history to the public-and sometimes with the public. Thus, we find historians working in archives, museums, historic sites, state and local historical agencies, newspapers, businesses, trade and labor organizations, and in all levels of government. They work as editors, archivists, oral historians, administrators, curators, historic preservation specialists, writers, public policy analysts–and, lest we forget, as historians!
Raistiwar Pratama