Home »Unlabelled » Fatwa-Fatwa PKS Seputar Perayaan Natal
Fatwa-Fatwa PKS Seputar Perayaan Natal
PUSAT Konsultasi Syariah (PKS) atau Sharia Consultating Center (SCC) adalah sebuah lembaga yang merupakan sayap tsaqafah syar’iyah Partai Keadilan Sejahtera. Para ahli yang menjadi pengurus dan anggota Pusat Konsultasi Syariah sepenuhnya merupakan pengurus Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DSP PKS).
Salah satu produk/program yang dibuat oleh Pusat Konsultasi Syariah adalah situs konsultasi keIslaman yang beralamat di syariahonline.com. Situs ini sudah berdiri sejak awal tahun 2000-an. Dan dalam masa itu hingga 2012, telah muncul berapa fatwa mengenai hal-hal seputar perayaan agama lain, khususnya Natal yang dirayakan kaum Nashrani.
Berikut ini kami ringkas, nukil, dan sunting aksara fatwa-fatwa tersebut:
Tentang Natal
Islam mengakui keberadaan agama Nashrani dan Yahudi. Juga mengakui kenabian Musa dan Isa sebagai utusan Allah. Bahkan Islam meyakini bahwa kitab suci Taurat dan Inji adalah kitab suci yang Allah turunkan. Semua itu merupakan bagian dari ruun iman dalam ajaran Islam. Syariat kedua agama itu pun diakui Islam sebagai syariat dari Allah kepada manusia dan sebagiannya menjadi bagian dari syariat Islam pula.
Namun sebaliknya, kedua agama itu tidak mengakui Islam sebagai agama. Nabi Muhammmad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak diakui sebagai nabi utusan Allah. Al Quran juga tidak diakui sebagai kitab suci yang Allah turunkan. Dan syariat Islam tidak diakui kedua pemeluk agama ini sebagai syariat yang Allah turunkan.
Dalam masalah toleransi beragama, Islam adalah pelopor kerukunan antar agama. Madinah sebagai kota percontohan negara Islam justru dihuni oleh penduduk yang beragam Yahudi dan juga Nashrani. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hidup bercampur baur dengan mereka dan berdagang serta bertransaksi bisnis juga.
Dalam masalah sosial, orang Yahudi dan Nashrani di Madinah mendapatkan hak perlindungan sepenuhnya dari negara. Dan dalam sejarah Islam kita bisa saksikan bagaimana para pelarian Yahudi justru ditampung oleh khilafah Bani Ustmani ketika para raja Nashrani Spanyol membantai habis umat Islam dan Yahudi di semenanjung Iberia itu.
Bahkan ketika Islam mencapai puncak kejayaannya di masa abad pertengahan, orang-orang Nashrani mendapatkan kebebasan hidup di negeri Islam, mereka bebas belajar, bekerja, mencari nafkah dan mendapatkan produk terbaru peradaban Islam. Oleh prajurit Perang Salib, aliran peradaban itu mereka bawa ke bumi Eropa. Sabun, lensa, ilmu kimia, ilmu kedokteran, ilmu biologi, ilmu bumi dan beragam kekayaan peradaban Islam dengan mudah dibawa ke Eropa. Sehingga para sejarawan mengatakan bahwa Eropa berhutang budi pada dunia Islam yang telah menjadi jembatan kebudayaan peradaban mereka.
Dalam kondisi seperti itu, perlu dipahami bahwa Islam memiliki keaslian ajaran yang paling terjaga, baik dari bid‘ah, kemusyrikan ataupun penyelewengan lainnya. Ketika para pemuka agama Yahudi dan Nashrani sibuk berbeda pendapat tentang inti ajaran mereka, Umat Islam dengan tenang menjalankan agamanya. Hal itu terjadi karena Islam memiliki Al-Quran dan Sunnah yang bersifat abadi serta syariat Islam yang sangat lengkap. Tidak ada kemungkinan umat Islam kehilangan identitas dan jejak ajaran rasul-Nya.
Berbeda dengan kedua agama samawi sebelumnya yang dilanda krisis kemurnian ajaran hingga pada masalah yang paling prinsipil. Seperti yang dialami Nashrani tentang ketuhanan Nabi Isa ‘Alaihis Salam. Bahkan para sejarawan pun sepakat bahwa kelahirannya bukan tanggal 25 Desember. Ensiklopedi besar dunia macam British atau American pun tidak mencantumkan tanggal itu sebagai hari kelahiran Nabi Isa.
Sejak dari abad ke-4, umat Kristen telah mengambil gagasan yang ada pada kepercayaan orang-orang kafir (penyembah berhala). Barangkali yang paling penting dari ini semua adalah kepercayaan bahwa ada 3 Tuhan: Bapa, Putra dan Roh Kudus (yang disebut Trinitas). Kepercayaan ini adalah sama dengan kepercayaan yang ada pada kepercayaan-kepercayaan sebelumnya seperti antara lain:
1.Hindu (Trinitas dalam Hindu): Brahma (Tuhan Pencipta), Wishnu (Pemelihara), Shiwa (Perusak). Hindu modern mengambil Krishna, anak Divachi, dara suci, sebagai reinkarnasi dari Wishnu. Krisna adalah juru selamat, yang mati untuk menebus dosa-dosa dan harus menderita. Dia disalib, mati dan kemudian dibangkitkan kemudian naik ke langit. Waktu lahir, Krisna akan dibunuh oleh Kansa. Yesus akan dibunuh oleh raja Herodes (Note: menurut penyelidikan akhir-akhir ini, Herodes itu matinya 4 tahun sebelum Yesus lahir. Jadi kesamaan itu bukan bersifat kebetulan, melainkan disengaja oleh penulis Injil).
2.Di Mesir: Ra (Dewa matahari), Osiris (Dewa kematian), Isis (Istri Orisis, Dewa alam dan bunda Tuhan) dan Horus (anak Osiris dan Dewa Cahaya). Di Mesir ada patung Horus dalam pelukan bunda Isis. Dalam Gereja Katholik juga terdapat patung Yesus dalam pelukan Maria.
3.Babylonia: Baal (Dewa matahari), Samiramis (bunda suci) dan Nimrod (anak Tuhan). Sebelum dibunuh, Baal dihina dan disiksa. Yesus juga demikian Matius 27: 26;30-31).
4.Buddha: Gautama (Roh kudus), Maya (bunda suci) dan Buddha, anak (yang ditiupkan ke Maya yang di isi dengan Roh Kudus) dan juru selamat yang mati dan dibangkitkan kembali.
5.Yunani/Romawi: Zeus/Jupiter (Raja Dewa), Artis/Diana (Dewa kelahiran) dan Mithra (Dewa cahaya). Sarjana-sarjana theology Kristen percaya bahwa penyembahan Isis dan Diana melebur kepada Maria ‘Alaihis Salam.
Dewa-dewa adalah penebus dosa. Yesus juga (I Timotius 2: 5-6). Dewa-dewa tersebut inkarnasi dari Tuhan. Yesus juga demikian (Philipi 2: 6-7). Dewa-dewa penebus dosa mati dibunuh/disalib. Yesus juga demikian (Matius, 27: 35-37).
Pada abad ke-4, kapel-kapel dan gereja-gereja mulai dibangun di atas makam para syuhada dan gereja mengatakan bahwa mereka memiliki kedudukan khusus untuk mendengar doa dan menyampaikannya pada Tuhan. Setiap hari disepanjang tahun doa-doa ditujukan pada orang-orang suci mereka (santa) atau para syuhada tersebut. Ajaran ini adalah bertentangan langsung dengan Galatians 3: 20, yang berbunyi: “Tidaklah diperlukan perantara apabila hanya satu yang terlibat; dan Tuhan adalah Esa.” Dan Exodus 20: 5, yang berbunyi: “Janganlah tunduk (ruku‘) pada berhala ataupun menyembahnya, karena Aku adalah Tuhan dan Tuhanmu tidaklah memiliki sekutu.”
Dan kita semua mengetahui bahwa kepercayaan seperti ini adalah merupakan syirk besar (menyekutukan Allah) dan kufr pada derajat yang paling tinggi.
Allah berfirman: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa…” (QS 5: 73)
“Al Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya Telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (QS 5: 75)
“Katakanlah: ‘Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi Manfa‘at?‘ Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 5: 76)
“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS 5: 77)
Sebagian besar syiar yang digunakan dalam Natal seperti sinterklas, lilin, hari minggu, salju dan sejenisnya lebih merupakan rekaan sepanjang zaman, termasuk patung Nabi Isa yang ditiaop negeri berbeda bentuk mukanya.
Semua itu, alhamdulillah, tidak terjadi pada umat Islam. Meski ada perbedaan mazhab fiqih, namun tidak sampai pada masalah yang berkaitan dengan aqidah.
Jadi bila umat Islam tidak ikut merayakan Natal bukan berarti tidak hormat kepada pemeluk agama lain. Tapi silahkan selesaikan terlebih dahulu perbedaan pendapat diantara pemeluk Nashrani tentang hari lahirnya dan tentang apa benar Nabi Isa itu tuhan, atau anak tuhan atau siapakah dia?
Yang jelas Islam tidak menjadikannya Tuhan, tapi dia adalah Nabi yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh Al-Quran dan umat Islam. Ajaran yang dibawanya (selama masih asli dan tidak terkena tangan-tangan kotor) merupakan ajaran dari allah yang wajib kita hormati). Dan juga kitab sucinya, selama tidak dikotori oleh para pemalsunya, kita imani sebagai kitab suci.
Namun sayang, umat Nashrani sendiri yang telah berpecah belah dan merusak kesucian agama mereka sendiri serta mengganti ajaran tauhid itu dengan polytheism dimana tuhan itu menjadi “tiga tetapi satu”. Sebuah logika yang mungin buat para filasuf mudah dipahami tapi tidak mudah bagi masyarakat awam. Apakah ini berarti agama ini hanya buat para filasuf, Wallahu a‘lam.
Jadi tidak mengucapkan selamat Natal tidak berarti tidak hormat. Jusru umat Kristiani harus mengucapkan terima kasih telah diingatkan oleh umat Islam tentang kenyataan yang ada pada ajaran mereka diman telah terjadi ketidak-jelasan sejarah dan kemungkinan pengkaburan ajaran Nabi Isa dari aslinya.
Yang kedua, karena tanggal 25 Desember pun bukan hari lahirnya Nabi Isa, paling tidak menurut pada sejarawan. Dalam Al-Quran pun disebutkan bahwa saat itu pohon kurma sedang berbuah. Dan pohon kurma tidak pernah berbuah di musim dingin seperti bulan Desember.
Menghadiri Perayaan Natal
Sebenarnya sejak awal sejarah hidup berdampingannya umat Islam dengan umat Nashrani, tidak pernah muncul masalah tentang hukum ucapan selamat Natal. Hal terjadi lantaran sejak dahulu, umat Nashrani yang hidup di bawah perlindungan umat Islam selalu melakukan ibadah mereka dengan bebas dan terjamin. Mereka tahu bahwa upacara peribadatan berupa perayaan Natal itu hanyalah milik mereka dan bukan milik umat Islam. Sehingga ketika mereka melakukannya, hanya mereka lakukan di dalam rumah ibadah mereka saja. Jadi hanya mereka saja yang hadir dan merupakan acara yang tertutup buat kalangan agama lain seperti Muslimin.
Dalam jaminan umat Islam, para pemeluk Nashrani itu menghirup udara kebebasan beragama dan menjalankan ibadah mereka sepanjang catatan sejarah. Umat Islam dilarang untuk mengganggu mereka atau ikut campur dalam tata peribadatan mereka. Dan mereka pun tahu diri untuk tidak membawa-bawa upacara ibadah mereka keluar tembok gereja.
Itu yang terjadi sepanjang sejarah, sehingga kita memang tidak mendapatkan nash sharih dari Al Quran Al Karim dan sunnah yang memberikan tekanan atas pelarangan mengucapkan selamat Natal. Begitu juga dalam kitab-kitab fiqih, kita jarang mendapati ada bab yang secara khusus membahas tentang fatwa ucapan Natal.
Namun dalam perkembangan berikutnya, terutama masa ekspansi bangsa Eropa setelah terjadinya perang salib dan pembasmian umat Islam di Spanyol, maka hubungan Muslimin dan Nashrani mengalami gangguan yang serius. Bangsa Eropa yang Nashrani itu telah datang menjajah serta menaklukkan negeri-negeri Islam dan merusaknya serta menjadikan izzah umat Islam porak poranda. Persis seperti yang diungkap ratu Balqis.
“Dia (Balqis) berkata: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka merusaknya dan menjadikan izzah penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.” (QS. An-Naml: 34)
Dan sudah bisa dipastikan bahwa salah satu agenda penjajahan itu adalah menyebarkan salib di negeri Islam dan upaya mengkristenkan umat Islam. Sebagia upaya balas dendam atas kekalahan mereka di perang salib. Maka dengan membonceng militer bersenjata, mereka mendirikan gereja di penjuru negeri Islam. Tidak hanya itu, mereka juga mendirikan sekolah, panti asuhan, lembaga sosial dan misi ke pedalaman. Sehingga negeri yang tadinya milik umat Islam menjadi milik Nashrani juga.
Bahkan ketika secara resmi penjajahan itu sudah berakhir, para misionaris masih saja bercokol dan bermimpi untuk mengkristenkan dunia Islam. Bahkan negeri kita tercinta ini malah menjadi sasaran utama dari kristenisasi dunia dengan target dalam waktu 25 tahun sudah bisa 50 % penduduknya dikristenkan.
Beragam trik dan siasat licik mereka lontarkan ke kalangan umat Islam untuk bisa memuluskan mega proyek itu. Salah satunya adalah dengan menggencarkan kegiatan Natal bersama dan ucapan selamat Natal di kalangan umat Islam. Beragam alasan dan alibi mereka keluarkan demi sekedar mendekatkan jarak antara umat Islam dengan pintu masuk Nashrani.
Tak terhitung lagi berapa juta bangsa Muslim yang telah murtad meninggalkan agama Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantaran proyek gila-gilaan umat Nashrani itu. Berapa banyak keluarga yang hancur berantakan lantaran perkawinan campuran. Berapa banyak orang menjadi tak punya agama atau malah punya agama dua lantaran ulah tokokh kristiani. Bahkan pada era tertentu, pernah kekuatan Nashrani begitu merasuk ke sendi-sendi pemerintahan, sampai-sampai hampir semua kebijakan pemerintah lebih condong kepada kalangan yang sebenarnya minoritas ini.
Maka wajarlah bila kalangan ulama melihat gelagat tidak baik ini lantas memberikan peringatan kepada umat Islam untuk tidak terkecoh dengan siasat akal bulus seperti ini. Maka setelah melihat konteks dan trik licik yang sudah sering kali berhasil mengirim umat Islam menjadi murtad dengan cara seperti itu, para ulama pun sepakat untuk mencegah hal itu menjadi semakin besar. Maka dikeluarkanlah fatwa tentang haramnya Natal bersama dan ucapan selamat Natal sebagai tindakan pencegahan atas program pemurtadan. Apalagi di dalam ucapan Natal itu terselip makna pembenaran atas aqidah yang salah tentang masalah ketuhanan. Dan bila dicermati, memang sangat besar maknanya atas keselamatan aqidah Islamiyah.
Namun dengan segala kekuasaannya, mereka berhasil menekan sebuah lembaga ulama milik Umat Islam untuk tidak berfatwa tentang haramnya Natal bersama. Saat itu, Prof. Dr. Hamka sampai harus mundur dari Majelis Ulama lantaran ditekan untuk mencabut fatwa haramnya Natal bersama.
Namun alhamdulillah, sampai saat ini MUI yang jadi harapan banyak umat Islam tidak goyah, lebaga ini pada tanggal 7 Maret tahun 1981 bertepatan dengan tanggal 1 Jumadil Awwal 1401 H telah mengeluarkan fatwa haramnya Natal bersama yang ditanda tangai oleh ketuanya KHM Syukri Ghazali. Salahudin Taqwallah satu kutipannya adalah:
◦Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa Alaihis Salam, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
◦Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya Haram
◦Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegitan – kegiatan Natal.
Dan secara kajian, kita memahami bahwa larangan melakukan Natal bersama itu adalah
1. Haram mencampur aduk aqidah dan ibadha dengan agama lain.
Menghadiri perayaan Natal bersama meski tidak disertai dengan keyakinan, namun secara ritual adalah termasuk perbuatan mencampuradukkan aqidah dan ibadah dengan aqidah dan ibadah agama lain. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala jelas-jelas mengharamkan hal itu dalam firman-Nya:
“Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan akuk tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembahan Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 106)
“Janganlah kamu campur-adukkan yang hak denga yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)
2. Menghadiri perayaan Natal sama dengan menuhankan Nabi Isa
Dan orang yang menjadikan nabi Isa ‘Alaihis Salam sebagai tuhan telah ditetapkan sebagai orang kafir. Dan ikut merayakan Natal bersama juga tidak bisa dilepaskan dari pengakuan atas ketuhanan nabi Isa ‘Alaihis Salam meski hanya secara simbolis. Karena itu tidak halal bagi Muslim untuk menghadiri perayaan yang batil itu.
“Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera maryam. Padahal Al Masih sendiri berkata: Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidak adalah bagi orang zhalim itu seorang penolong pun. (QS. Al Maidah: 72)
Dalam fatwanya yang lain:
Pada dasarnya memang Islam menganjurkan penganutnya untuk menghormati agama lain serta melindunginya. Bahkan dalam peperangan, diantara hal yang dilarang adalah merobohkan rumah ibadah agama lain. Sedemikian tinggi nilai toleransi dan penghormatan Islam kepada agama lain dan pemeluknya sehingga bisa dikatakan bahwa hanya Islamlah agama yang paling peduli dengan agama lain. Bahkan meski secara aqidah bertentangan 180 derajat.
Dalam masalah ritual keagamaaan agama lain, umat Islam pun tetap wajib menghormatinya. Batasnya adalah bahwa umat Islam dilarang ikut serta secara aktif terlibat dalam ritual penyembahan itu.
Sedangkan membantu atau bahkan memfasilitasi agama lain dalam kondisi tertentu bisa dibenarkan. Bahkan Shalahuddin Al Ayyubi sebagai penguasa Baitul Maqdis pun memberikan kesempatan kepada musuhnya untuk merayakan Natal.
Sehingga dalam masalah ini meski tidak disepakati seluruh ulama, namun bila sekedar menghormati sebagai penonton pasif dan tidak ikutan dalam ritualnya, sebagian ulama memandang bahwa hal itu tidak termasuk ikut menyembah tuhan mereka. Tetapi sekedar menghormati dan menjadi penonton. Meski hal itu batil, namun sebagai sebuah agama formal, kita wajib menghormatinya dan dilarang mengganggunya.
Memang ada fatwa tentang haramnya Natal bersama dan mengucapkan selamat. Dalam hal ini karena Natal bersama berbeda sekali diman dalam prakteknya, umat Islam yang ikut Natalan pun juga ikut dengan khusyu` bernyanyi dan berdoa dan seterusnya. Sedangkan mengucapkan selamat karena kaitannya dengan masalah aqidah dimana kita seolah memberikan ucapan dukungan.
Dalam fatwanya yang lain:
Fatwa tentang haramnya umat Islam ikut Natalan atau seremoni sejenisnya sudah jelas dan tetap hukumnya, tidak berubah.
Karena biar bagaimanapun acara Natal adalah acara keagamaan yang bersifat ritual. Islam sejak dini telah membatasi masalah toleransi pada saling menghormati dan menghargai bahkan saling tolong dan saling bela dalam masalah sosial masyarakat. Tapi tidak bila harus saling bertukar ibadah dan bertukar upacara keagamaan.
Prinsip “lakum dinukum waliya din” tidak pernah berubah. Dan menghormati pemeluk agama lain tidak harus dengan memberi ucapan selamat atau menghadiri perayaan agama. Meski mereka memberi selamat dan menghadiri perayaan agama kita, bukan berarti harus saling berbalas.
Dalam fatwanya yang lain:
Selanjutnya terkait dengan hukum merayakan hari besar umat lain dan mengucapkan selamat kepada mereka, maka ia merupakan hal yang terlarang dalam agama kita. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan Az-Zuur.” (QS. Al-Furqan: 72).
Para mufassirin menerjemahkan bahwa yang dimaksud dengan menghadiri Az Zuur adalah menjadi saksi atau menghadiri hari raya agama lain atau perayaan orang-orang musyrikin.
Yang tidak boleh adalah mengucapkan selamat dan menghadirinya. Namun bukan berarti hal itu membuat kita harus bermusuhan dengan pemeluk agama lain. Juga tidak mengharuskan kita kehilangan basa-basi dengan mereka.
Silaturahim Saat Natal
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Sebenarnya masih lebih banyak amal sholih yang lebih prioritas dan berpahala jika dilakukan mukmin. Misalnya, silaturahim kepada orang-tua, saudara-saudara, orang-orang shalih, tetangga, kawan se-aqidah dan lain-lain.
Kemudian secara umum berkunjung kepada siapa saja termasuk pada Non Muslim dibolehkan asal tidak membahayakan dan berakibat dosa, apalagi merusak aqidah .
Menurut saya berkunjung d ihari Natal pada Nashara, dihindarkan dahulu untuk menjauhi syubhat.
Mengucapkan Selamat Natal
Sebenarnya mengucapkan selamat Natal merupakan bentuk representasi dari pengakuan atas aqidah mereka yang menyimpang. Diantaranya yang paling fatal adalah keyakinan atas ketuhanan Nabi Isa. Ini adalah harga mati dan merupakan batas kemusyrikan.
Karena itu bila seorang Muslim memahami hakikat aqidah Islam dengan benar, pantang baginya untuk mengucapkan Natal itu meski sekedar basa-basi.
Karena menghormati agama lain itu bukan dengan cara demikian. Dan menghormati pemeluk agama lain pun tidak harus dengan cara itu. Islam memerintahkan pemeluknya untuk menghormati agama lain dan para pemeluknya. Tetapi apa yang mereka lakukan terhadap Nabi Isa ‘Alaihis Sallam adalah bentuk kemungkaran yang sangat tidak bisa ditolelir dalam akidah Islam.
Kepada pemeluk agama lain Islam mengajarkan sebuah salam yang lebih baik dan lebih bagus yaitu,”Salamun ‘ala man ittaba‘al huda.” Semoga salam sejahtera dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.
Dalam fatwanya yang lain:
Sedangkan terkait dengan ucapan selamat Natal pada momentum Natal, maka sudah dijelaskan juga bahwa haram hukumnya bagi Muslim untuk mengucapkannya. Walau kepada keluarga sendiri.
Namun demikian, bukan berarti Islam mengajarkan permusuhan dengan mereka. Karena seperti yang sudah kami singgung, tidak mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari penghormatan kita kepada pemeluk Nashrani. Cukuplah toleransi, jaminan keamanan dan kebebasan untuk merayakan Natal yang telah kita berikan kepada mereka.
Dan keharaman mengucapkan selamat Natal itu tidak menghalangi untuk melakukan sapaan dan basa-basi dalam pergaulan dengan mereka, apalagi bila mereka masih keluarga sendiri. Seperti menanyakan kabar, kesehatan dan keadaan lainnya. Selama tidak mengucapkan selamat atas hari Natal itu sendiri.
Dalam fatwanya yang lain:
Mengucapkan selamat Natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekedar basa-basi antar agama. Karena tiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing.
Karena itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesederhana yang dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadatian itu punya makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal cuma dua penggal kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.
Nah, dalam hal ini pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) Natal kepada nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak sederhana. Benar bahwa Muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi bila mereka zimmi. Namun perlu diberi garis tengah yang jelas. Manakah batasan hormat dan ridha disini. Hormat adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.
Kita hormati Nashrani karena memang itu kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang menjadi batas tegas disini.
Jangan sampai ada perasaan takut di hati para tokoh agama kita bila belum mengucapkan selamat Natal, maka kita kurang toleran, kurang ramah dan kurang menghargai agama lain. Ini penyakit kejiwaan yang hingga dalam lubuk sanubari kebanyakan kita. Sehingga terkadang menjelma menjadi sikap yang kurang tepat.
Bila kita tidak mengucapkan selamat Natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan. Adanya orang Nashrani di Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri dimana umat Islam minoritas, bagaimana mereka diteror, dipaksa, dipersulit, dibuat tidak betah, diganggu dan dianiaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun dimana ada umat Islam yang minoritas baik Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya.
Jadi tidak mengucapkan selamat Natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing. Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut.
Dalam fatwanya yang lain:
Mengucapkan selamat Natal memang menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan umat Islam. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan sudut pandang, ada yang mengkategorikan mengucapkan Natal itu masalah mumalah dan tadisi saja, seperti kita mengucapkan selamat malam, selamat makan selamat tahun baru dan selamat Natal. Sedangkan ulama yang lain memasukannya pada masalah aqidah sehingga mengharamkannya.
Sesuatu yang pasti disepakatinya adalah umat Islam diharamkan mengikuti upacara dan ritual Natal. Adapaun mengucapkan selamat Natal bagi kaum Nashrani yang menyakini bahwa hari itu adalah hari lahirnya Isa al Masih atau mereka menyakininya Yesus Kristus sekali lagi menjadi hal yang diperselisihkan para ulama.
Bagi umat Islam di Indonesia, mestinya tidak perlu ribut dan susah, karena MUI sudah memfatwakan haram. Sehingga kita tinggal mengikutinya.
Memberi Ucapan Selamat Karena Jabatan (Kasus Menteri Agama)
Menteri Agama RI sebagai Muslim punya wakil dan juga para pembantu termasuk para Dirjen. Dan diantara mereka pastilah ada yang Non Muslim. Sehingga beliau bisa saja menugaskan para pembantunya yang beragama kristen itu untuk memberikan sambutan dan selamat Natal atas nama Depag.
Di sisi lain, sebenarnya perlu juga dipikirkan metode pemberian penghormatan yang tidak mengganggu masalah aqidah. Karena ucapan selamat Natal memang akan terus melahirkan perbedaan pandangan antara yang melarangnya dan yang membolehkannya. Para ulama dan sebagain besar umat Islam sebenarnya cenderung mengharamkannya. Bahkan fatwa MUI dengan tegas melarang umat Islam ikut merayakan Natal termasuk memberikan ucapan selamat.
Masalahnya adalah bahwa umumnya masyarakat kita ini merasa kurang enak kalau pada saat seorang teman yang beragama Nashrani itu sedang merayakan Natal, lalu kita diam saja atau pura-pura lupa sekedar menghindari ucapan selamat Natal. Masyarakat kita terbiasa berbasa-basi termasuk dalam masalah memberi selamat, meski mereka mungkin tidak tahu apa dampak dan konsekuensi dari pemberian ucapan selamat itu dari sisi aqidah.
Sehingga perlu dipikirkan ucapan seperti apa yang plaing layak dan pantas untuk diucapkan sekedar berbasa basi tapi tidak menyangkut masalah aqidah Islam. Yang jelas ucapan salam kepada orang Non Muslim berbeda dengan kepada sesama Muslim. Dalam banyak riwayat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasanya mengucapkan lafaz salam berikut ini Salaamun ‘ala man ittaba’ al huda . Maknanya adalah Selamat Sejahtera kepada mereka yang mengikuti petunjuk. Kalau ingin yang di luar lafaz itu, barangkali Anda punya ide dan saran, silahka kirimkan kepada kami.
Nabi Isa itu memang nabi kita juga dan kita wajib beriman atas kenabiannya. Tetapi dalam perayaan Natal, memang ada masalah mendasar di luar urusan memberi ucapan selamat.
Pertama, masalah ketidak-benaran tanggal atau bulan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam itu sendiri. Sehingga kalau toh kita ingin mengucapkan selamat Natal pada saat seperti itu, benarkah 25 Desember itu adalah hari lahirnya ?
Kedua, kalaulah benar belai lahir pada tanggal itu, apakah bisa dibenarkan mengucapkan selamat atas hari lahir seorang nabi Isa ‘Alaihis Salam ? Padahal pada hari lahirnya nabi Muhammad sekalipun kita tidak diajarkan untuk saling mengucapkan selamat hari lahir. Bagaimana mungkin pada hari lahirnya Isa kita memberikan ucapan selamat ?
Berjabat Tangan Tanpa Ucapan Selamat Natal
Pada saat orang-orang Nashrani merayakana Natal, kita diharamkan untuk hadir dan mendekat ke tempat ibadah mereka. Karena kehadiran kita dalam peribadatan itu termasuk mencampur adukkan ibadah. Selain bisa dikenakan anggapan bahwa kita ikut menyukseskan acara tersebut.
Jadi hindari saja tempat-tempat ibadah mereka pada saat itu dan juga jangan dekat-dekat dengan acara seperti itu bila dilakukan di luar tempat ibadah mereka.
Bila Anda bertemu mereka di luar konteks peribadatan, tidak ada salahnya Anda bersalaman secara umum dengan mereka. Karena bersalaman tidak menyalagi aturan dan batas aqidah. Yang diharamkan adalah ucapan selamat dan menghadiri perayaan Natal itu sendiri. Kalau sekedar bersalaman di luar konteks acara Natal, seperti di tempat umum, tempat kerja dan lainnya, tidak bisa dikaitkan dengan keridhaan atas ibadah mereka.
Berbasa Basi Tentang Natal
Dan bangsa kita paling terkenal dengan keramahan dan basa-basinya. Sehingga bila sehari-hari kita bersikap ramah dan baik kepada teman Non Muslim, lalu tiba-tiba pada hari Natal mulut kita terkunci mati lantaran takut terpaksa harus mengucapkan Natal, tentu menjadi rusaklah suasananya. Dan semakin kuatlah imej bahwa orang yang fanatik Islam itu memang tidak bisa ramah dengan Non Muslim.
Jadi kita tetap dibolehkan berbasa basi dengan mereka meski dalam suasana hari Natal. Namun ungkapannya tentu bukan selamat Natal. Sebagian kalangan ada yang membolehkan bila kita terpaksa berbasa-basi dengan bertanya,”Bagaimana keadaan Anda hari ini ?” atau “Bagaimana perayaan Natal Anda ?” atau “Anda merayakan Natal kemarin dimana?”
Kalimat-kalimat itu sama sekali bukan ungkapan selamat, tetapi basa-basi semata. Menanyakan kabar tidak berarti meridhainya, berbeda dengan mengucapkan selamat.
Meski pendapat ini belum tentu diterima semua pihak, namun yang pasti lebih ringan dari pada ucapan langsung tentang selamat Natal. Karena yang terlarang adalah mengucapkan selamat, karena meski niatnya basa-basi, namun maknanya mendalam. Mengucapkan selamat Natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekedar basa-basi antar agama. Karena tiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing.
Kemudian:
Hal ini berlaku secara umum. terkecuali jika kemudian karena tidak mengucapkan selamat Natal hal itu akan memberikan mudarat yang nyata kepada kita, misalnya nyawa kita menjadi terancam dan sebagainya, maka ucapan selamat tadi bisa diucapkan sekedar dengan lisan tanpa diikuti keyakinan dalam hati.
Fatwa Syaikh Al Qaradhawi yang Membolehkan Ucapan Selamat Natal
Memang benar bahwa Syeikh Yusuf Al Qaradhawi pernah memberikan fatwa tentang kebolehan mengucapkan selamat Natal. Pandangan beliau tersebut disertai dengan sejumlah alasan yang cukup kuat dan bisa menjadi bahan pertimbangan. Adapun kalau pendapat tersebut berbeda dengan pendapat ulama lain, atau bahkan berbeda dengan sebagian besar ulama, hal itu biasa. Yang penting bagaimana pendapat tersebut dilandaskan pada dalil; bukan semata-mata hawa nafsu.
Selain Syeikh Yusuf Al Qaradhawi masih banyak ulama lain yang memiliki pandangan serupa. Perbedaan di antara ulama adalah hal biasa. Yang penting bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut secara arif dan bijak. Kita bisa memilih salah satu dari pandangan yang kita anggap kuat tanpa harus merendahkan ulama lain yang memiliki pandangan berbeda.
Sikap toleran dan hormat ini yang harus dikembangkan. Dulu generasi salaf yang menjadi acuan mereka dan kita semua juga berbeda pendapat dalam banyak masalah. Namun perbedaan tersebut tidak membuat mereka saling menyerang apalagi melecehkan. Sehingga aneh kalau generasi yang mengaku sebagai pelanjutnya tidak bisa menerima perbedaan dan bahkan sering mencela.
Jadi kesimpulannya, perbedaan pendapat di antara para ulama yang kita akui kredibilitasnya adalah sesuatu yang lumrah. Mereka juga manusia yang tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Kalau ada yang baik dari mereka (dan pasti banyak) maka kita ambil, sementara kalau ada yang salah atau sulit diterima oleh pemahaman kita tidak usah dijadikan bahan celaan. Tapi harus dipelajari dan dijadikan sebagai masukan yang bisa memperkaya wawasan.
Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Orang Muslim adalah yang Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR Muslim)
Catatan dari penukil: Dalil dan istinbath dalam fatwa-fatwa sebelumnya lebih kuat untuk diterapkan, sehingga penyelisihan Syeikh Yusuf Al Qaradhawi ini tidak kita terima, tetapi beliau sebagai ulama tetap kita hormati.
Fatwa KH Quraish Shihab yang Membolehkan Ucapan Selamat Natal
Penanya membawakan dalil yang digunakan oleh KH Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al Quran, kemudian ditanyakan tafsiran yang benar atas ayat tersebut:
“Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina,” demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali.”
Jawaban dari Pusat Konsultasi Syariah:
Lengkapnya ayat itu adalah ayat yang ada di surat Maryam dan disebutkan dua kali. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hai Yahya, ambillah Al Kitab itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian . Dan ia adalah seorang yang bertakwa, dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 12-15)
Di ayat selanjutnya dalam surat yang sama disebutkan:
“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku shalat dan zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.”(QS. Maryam: 30-36)
Untuk menjawab syuhbat atas kebolehan memberi ucapan selamat Natal dengan hujjah ayat ini, ada beberapa hal yang perlu kita cermati dengan baik. Agar kita tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan hanya berdasarkan sebuah ayat yang makna dan konteksnya tidak tepat.
1. Ucapan salam sejahtera yang ada di dalam ayat itu merupakan ucapan bayi Nabi Isa ‘Alaihis Salam untuk menjawab cemoohan dan ejekan orang-orang yang memusuhi Maryam, ibunda Nabi Isa. Sama sekali tidak mengandung hukum tentang sunnah atau masyru’iyah untuk mengucapkan selamat sejahtera pada tiap ulang tahun kelahiran nabi Isa. Bahkan murid-murid nabi Isa (al-Hawariyyun) juga tidak pernah mengucapkan selamat ulang tahun atau selamat hari lahir kepada nabi mereka saat nabi Isa masih hidup. Apalagi setelah beliau diangkat ke langit.
2. Sehingga kalaulah mengucapkan selamat itu menjadi dibolehkan, maka seharusnya para shahabat terdekat nabi Isa yang melakukannya. Tapi kita sama sekali tidak mendapat keterangan tentang itu. Bahkan Nabi Isa sendiri tidak pernah memintanya atau mensyariatkannya.
3. Selain itu sebagaimana yang tertera dalam ayat itu, kalimat itu menunjukkan bahwa salam sejahtera pada kepada nabi Isa. Bukan pada hari kelahirannya dan bukan juga pada setiap ulang tahun kelahirannya. Ini dua hal yang sangat jauh berbeda. Bolehlah kita mengucapkan selamat Natal bila bunyi ayatnya seperti ini: “Wahai umat Islam, bila pemeluk kristen merayakan Natal, maka ucapkanlah: selamat Natal.” Tapi demi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Agung dan Maha Benar, tidak ada sama sekali ayat itu dalam Al-Quran Al-Karim, tidak juga dalam Injil, Taurat ataupun Zabur. Ayat Al-Quran Al-Karim itu hanya mengatakan bahwa pada hari lahirnya, meninggal dan dibangkitkan semoga dirinya selamat dan sejahtera. Bunyinya adalah “Salamun Alayya” Semoga aku selamat atau semoga Allah mensejahterakan atau menyelamatkan diriku. Bukan harinya yang sejahtera atau selamat.
4. Dalam tafsir yang lurus disebutkan bahwa kalimat Selamat atasku yang dimaksud pada ayat itu adalah selamat dari gangguan syetan, yaitu pada tiga momentum: pada hari kelahiran, kematian dan kebangkitan kembali. Maksudnya bahwa syetan tidak bisa mengganggu nabi Isa ‘Alaihis Salam dan tidak bisa mencelakakannya terutama pada tiga momentum itu.
5. Kalaulah salam itu ditafsirkan sebagai ungkapan atau ucapan salam maka mengirim salam, maka salam itu adalah salam kepada nabi Isa alaihis salam. Dan mengucapkan kepada para nabi dan rasul memang dibenarkan dan disyariatkan dalam syariah Islam. Dan sebagai Muslim, kita mengakui kenabian Isa ‘Alaihis Salam serta posisinya sebagai nabi dan rasul. Untuk itu kita juga disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada diri beliau. Namun hal itu jelas jauh berbeda dengan memberi ucapan selamat Natal kepada orang kafir. Karena kalangan Nashrani itu melakukan kemusyirikan dengan menjadikan nabi Isa sebagai tuhan selain dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kemusyrikannya itu dirayakan dalam bentuk perayaan Natal. Mereka dengan segala keyakinannya mengatakan bahwa pada tanggal 25 Desember itu TUHAN telah lahir. Ini adalah kemusyrikan yang nyata dan terang sekali. Dan mengucapkan selamat Natal kepada mereka yang sedang merayakan kemusyrikan berarti ikut meredhai dan mendukung kemusyrikan itu sendiri.
6. Karena itu sudah terlalu jelas perbedaannya antara bersalawat kepada nabi Isa sebagai nabi dengan menyembah nabi Isa atau menjadikannya sebagai tuhan. Sehingga hanya mereka yang agak rancu pikirannya saja yang memahami ayat ini sebagai ayat yang memerintahkan kita untuk mengucapkan selamat Natal kepada orang kafir.
7. Selain itu yang jelas tidak bisa diterima adalah penetuan hari lahir nabi Isa sendiri yang tidak didukung fakta ilmiyah atau pun dalil yang benar. Tidak ada data akurat pada tanggal berapakah beliau itu lahir. Yang jelas 25 Desember itu bukanlah hari lahirnya karena itu adalah hari kelahiran anak Dewa Matahari di cerita mitos Eropa kuno. Mitos itu pada sekian ratus tahun setelah wafatnya nabi Isa masuk begitu saja ke dalam ajaran kristen lalu diyakini sebagai hari lahir beliau. Padahal tidak ada satu pun ahli sejarah yang membernarkannya. Bahkan Britihs Encylopedia dan American Ensylcopedia sepakat bahwa 25 bukanlah hari lahirnya Isa ‘Alaihis Salam.
8. Apalagi di tengah kancah tarik menarik antar Muslim dengan Nashrani dimana mereka telah menjadikan bangsa ini sebagai sasaran kristenisasi secara tegas dan terang-terangan. Maka segala upaya untuk memurtadkan umat Islam pastilah dilakukan. Dan salah satu caranya dengan mengadakan Natal bersama atau mencari tokoh Islam yang membolehkan ucapan selamat Natal. Dengan demikian, terbukalah pintu untuk pemurtadan bangsa yang sejak dahulu telah menjadi pemeluk Islam.
Memakan Sembelihan Orang Non Islam
Dalam masalah kehalalan makanan Non Muslim, kita membagi dua mereka yang Non Muslim ini. Pertama adalah Ahlul Kitab yaitu pemeluk Yahudi dan Nashrani. Yang kedua adalah Non Muslim selain ahli kitab atau sering disebut Watsaniyyin (penyembah berhala).
Makanan ahlul kitab hukumnya halal bagi Muslim sebagaimana makanan Muslim halal bagi ahlul kitab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang masalah ini:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS Al Maidah: 5)
Dengan firman Allah ini, maka para shahabat dengan tenang menyantap sembelihan ahli kitab dan menikahi wanitanya. Diantara adalah diantaranya adalah Umar bin AlaKhattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`in, seperti Atha`, Ibnul Musayib, Al Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah.
Yang dimaksud dengan makanan ahlul kitab disini maksudnya adalah makanan yang disembelih oleh mereka. Sedangkan bila mereka memakan binantang yang haram seperti babi, anjing, bangkai dan bitanang haram lainnya, maka hukumnya tetap haram. Begitu juga bila mereka meminum khamar (minuman yang memabukkan). Haram bagi Muslim dan sebenarnya haram juga bagi ahli kitab.
Kekhawatiran dan kehati-hatian itu bagus untuk dilakukan, namun tidak berarti kita menjadi kaku dalam menerapkannya. Perlu kita buktikan terlebih dahulu apakah mereka memang biasa memasak makanan yang haram seperti babi, anjing dan sejenisnya atau tidak ? Bila ternya sering, maka berhati0hatilah. Tapi bila ternyata tidak, maka bacalah basmallah bila makan makanan mereka.
Namun bila dikaitkan dengan upacara ibadah mereka yaitu Natal, maka hukumnya lain lagi. Apa yang ami bahas terbatas pada makanan sembelihan mereka dan bukan peristiwa makan saat upacara Natal itu sendiri.
Karena fatwa para ulama jelas mengharamkan kita menghadiri Natal yang diselenggarakan oleh Nashrani, bahkan sekedar mengucapkan selamat pun tidak dibenarkan, karena bagian dari pengakuan atas syirik yang mereka kerjakan.
Dalam fatwa yang lain disebutkan:
Sedangkan memakan makanan yang sebelumnya dijadikan sesajen pada dasarnya tidak ada larangan. Asal secara zatnya memang halal. Tapi bila secara zatnya memang sudah haram seperti anggur, tuak dan makanan haram lainnya, maka sudah barang tentu haram.
Dan juga wajib dibedakan makanan yang berbentuk daging hewan. Karena hewan yang disembelih untuk selain Allah adalah haram.
Memanfaatkan Momen Ekonomis Natal
Diskon harga-harga barang menjelang hari raya pada hakekatnya bukanlah bentuk hadiah keagamaan. Memang kemudian sering diistilahkan dengan hadiah, teapi pada dasrnya itu adalah strategi dagang saja dalam rangka menangguk untung lebih besar.
Barangkali dengan memberi diskon diharapkan margin penjualan bisa didongkrak berkali lipat. Hsilnya meski harga penjualan turun, namun secara umum keuntungan pedagang justru berlipat. Jadi ini adalah strategi dagang dengan memanfaatkan momentum hari besar. Buat pedagang, tidak peduli hari besar agama apa saja, bisa Islam bisa kristen dan lainnya.
Bonus Natal dari kantor anda bekerja pun sebenarnya sudah dianggarkan jauh hari sebagai salah satu pengeluaran perusahaan. Hanya pengeluarannya menunggu momentum Natal. Tidak ada kaitannya secara langsung dengan aqidah dan prinsip Islam.
Jadi secara umum tidak ada larangan bila ada fasilitas tersebut.
Mendengarkan Lagu Natal
Kita pisahkan dahulu masalah anda mejadi dua hal. Pertama, hukum mendengarkan lagu rohani yang sengaja diciptakan untuk ibadah dan menyemarakkan hari raya agama tertentu. Kedua, hukum musik itu sendiri.
Pertama, lagu dan musik memang sering dijadikan sarana untuk ibadah ritual seatu agama tertentu. Meski alat musiknya sebenarnya netral dan lebih menentukan adalah syairnya, namun biar bagaimana pun lonceng Natal adalah khas umat kristiani dan bedug sering dikonotasikan dengan budaya Islam. Sehingga agak sulit juga memisahkan begitu saja antara bunyi musik khas untuk ritual agama tertentu (apalagi dengan melodi dan jinggle tertentu) dengan ritual agama itu sendiri.
Paling tidak, di telinga awam, musik dan ritual itu menjadi satu. Dan perlu diingat pula bahwa musik gerejani dan rohani itu memang sengaja diciptakan untuk mendekatkan orang “siapapun- tak peduli non-kristiani, untuk ikut merasakan hidmatnya ritual agama itu. Sampai batas ini, agak sulit memisahkan begitu saja antara musik dan nilai-nilai ritual kristiani. Untuk itu kita wajib menjaga hal ini dengan cermat agar tidak termasuk orang yang ikut merayakan Natal meski hanya dengan mendengarkan musiknya saja.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia baigan dari mereka.”
Menyerupai disini tentu saja dalam masalah yang khas milik mereka. Dalam hal ini misalnya kita termasuk ikut mereka bila menggunakan pakaian ibadah ritual khas mereka. Tetapi tidak demikian halnya dengan pakai dasi karena dasi bukan khas orang kristen. Meski demkian, di zaman dahulu para orangtua kita mengharamkan pakai dasi karena identik dengan baju orang belanda yang kafir.
Kedua, hukum musik sendiri. Anda perlu ketahui pula bahwa hukum musik ini secara umum kurang diterima oleh para ulama Muslim. Paling tidak pendapat yang mengharamkannya perlu pula diperhatikan, selain kenyataaan di dalam dunia Islam bahwa ilmu seni musik pun tidak berkembang sebagaimana cabang ilmu lainnya. Dalam banyak buku fiqih disebutkan bahwa temasuk jual beli yang dilarang adalah memperjual-belikan alat musik. Itu di satu sisi.
Di sisi lain memang ada pula sementara kalangan ulama yang tidak mengharamkannya secara total, tetapi memakruhkan atau membolehkan dengan beberapa syarat. Latar belakang mengapa mereka tidak mengharamkan secara total adalah tidak didapatnya nash/teks dalil yang secara eksplisit yang mengharamkannya, menurut mereka semuanya merupakan teks yang implisit dan merupakan penafsiran dari suatu makna dari dalil-dalil yang ada pada Al-Quran dan Hadits.
Jadi hukum mendengarkan musik dalam Islam itu paling tidak ada beragam pendapat. Ini patut anda ketahui karena anda mengatakan bahwa anda seorang yang sangat mencintai musik. Maka sebagai Muslim, anda perlu mengerti juga bagaimana pandangan Islam terhadap musik, paling tidak adanya ikhtilaf dalam hukumnya.
Menerima Selamat Hari ‘Id dari Non Muslim
Bila ada teman atau keluarga Anda yang bukan Muslim tetapi mengucapkan Selamat Hari Raya Iedul Fithri, maka kita tidak perlu menolaknya atau membuang muka. Kita terima saja ucapan itu tanpa beban. Karena bila nanti mereka Natalan, kita tidak boleh mengucapkan selamat Natal kepada mereka.
Ketahuilah bahwa ucapan Selamat Lebaran yang mereka sampaikan itu memang diajarkan dan digalakkan di kalangan mereka. Bahwa masing-masing dari penganut Nashrani itu melakukannya dengan sadar atau tidak, yang jelas ada feed back yang ingin mereka raih, yaitu agar umat Islam membalasnya dengan ucapan selamat Natal pada hari Natal. Itulah sebenarnya sasaran mereka, agar terjadi kedekatan aqidah hingga batas kita ikut meredhai dan mengucapkan “SELAMAT” atas syirik dan penuhanan Nabi Isa ‘Alaihis Salam.
Padahal meski sebuah lafaz yang sederhana, namun ucapan selamat itu punya makna yang mendalam dan tidak sesederhana pengucapannya. Mengucapkan selamat Natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekedar basa-basi antar agama. Karena tiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing.
Karena itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana yang dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadatian itu punya makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal cuma dua penggal kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.
Nah, dalam hal ini pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) Natal kepada nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak sederhana. Benar bahwa Muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi bila mereka dzimmi. Namun perlu diberi garis tengah yang jelas. Manakah batasan hormat dan ridha disini. Hormat adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.
Kita hormati Nashrani karena memang itu kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang menjadi batas tegas disini.
Jangan sampai ada perasaan takut di hati para tokoh agama kita bila belum mengucapkan selamat Natal, maka kita kurang toleran, kurang ramah dan kurang menghargai agama lain. Ini penyakit kejiwaan yang hingga dalam lubuk sanubari kebanyakan kita. Sehingga terkadang menjelma menjadi sikap yang kurang tepat.
Bila kita tidak mengucapkan selamat Natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan. Adanya orang Nashrani di Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri dimana umat Islam minoritas, bagaimana mereka diteror, dipaksa, dipersulit, dibuat tidak betah, diganggu dan dianiyaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun dimana ada umat Islam yang minoritas baik Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya.
Jadi tidak mengucapkan selamat Natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing. Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut.
***
Demikian sejumlah fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Pusat Konsultasi Syariah (PKS) yang pengurusnya di antaranya adalah:
Dewan Pembina
DR. H. Salim Segaf Al Jufri, MA
DR. KH. Muslih Abdul Karim, MA
DR. KH. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
Dewan Pengawas
Dr. KH. Idris Abdus Shomad, MA
Drs. H. Muhammad Yusuf Ashari, MM
Dewan Pengurus
Ketua Umum : DR. KH. Surahman Hidayat, MA
Sekretaris Umum : KH. Iman Santoso, Lc
Bendahara : Ir. H. Salmin Dja’far
Ahanas Saebu
Bidang Layanan Konsultasi
Ketua : DR. H. Muhammad Muinuddin, MA
Sekretaris : H. Fauzi Bahraisy, Ssi
Tim Ahli :
KH. Bukhori Yusuf, MA
DR. Imron Zabidi, MA
H. DR. Baharudin Husen, MA
H. Iman Sujoko, MA
Hj. Nurhamidah, MA
Hj. Herlini Amran, MA
Bidang Buhust Wa Nadawat
Ketua : DR. H. Oni Sahroni, MA
Sekretaris : Jauhar M. Mahdy Ahmad, Lc
Tim Ahli :
DR. Saeful Bahri, MA
DR. Abas Mansur Tamam, MA
DR. Agus Setiawan, MA
DR. Taufiqul Azhar, MA
Lili Nur Aulia, Lc
Bidang Keumatan
Ketua : DR. KH. Ali Ahmadi, MA
Sekretaris : Rudi Rahmat
Tim Ahli :
H. Abdullah Baharmus, Lc
H. Aunurrafiq Saleh, Lc
KH. Amang Syafrudin, MA
Hj. Dra. Suzy Mardiani
Hj. Fathiyah Khotib, MA
Bidang Pelatihan
Ketua : KH. Bakrun Syafi’i, MA
Sekretaris : Irwan Habibi, SH
Tim Ahli :
DR. KH. Ahmad Qusyairi Suhaili, MA
Prof. DR. Ahmad Satori Ismail
H. Khairiansyah Salman, SE