Serat Centini [4]

Bookmark and Share


3. Pesantren Giri diserang pasukan Majapahit

Prabu Brawijaya Pamungkas sebagai penguasa kerajaan Majapahit, menerima laporan dari Patih Maudara, tentang kemajuan pesat dari pondok Pesantren Giri. Dalam laporan Patih, dilaporkan bahwa Sunan Giri juga menggunakan gelar Prabu Setmata, dan ini berarti menyamai kedudukan Raja Majapahit, atau setidak-tidaknya ada usaha untuk merebut kekuasaaan dengan semakin besarnya pengaruh pesantren Giri di masyarakat. Bahkan pengaruh itu sudah melebar luas ke berbagai Kadipaten.

Patih Maudara melaporkan dalam analisa intelijen, bahwa kekuatan santri Giri sudah mengimbangi kekuatan pasukan Majapahit. Penggunaan nama Prabu Setmata ini sama saja Sunan Giri bondhan datanpa Ratu. Apalagi sebenarnya Raja Brawijaya pada saat itu hatinya sedang gundah, karena isttrinya yang dari putri Campa itu, berkali-kali mendesaknya untuk masuk agama Islam, meski sang Prabu masih mempertimbangkannya.

Bahkan semakin hari pengaruh Pesantren Giri sampai di luar negeri, hal ini semakin memperburuk posisi kerajajan Majapahit di luar negeri. Para Adipati bahkan lebih menghormati Pesantren Giri ketimbang Raja Brawijaya.

Mendengar laporan Patih Maudara yang panjang lebar dan dengan analisis intelijennya, membuat Raja Brawijaya menjadi naik pitam, keberadaan pesantren Giri yang telah tiga tahun lamanya tidak memberikan upeti pada kerajaan, dapat dikatagorikan pembangkangan kepada raja, sekaligus dianggap melawan pemerintahan yang sah.

Prabu Brawijaya memerintahkan kepada Patih Maudara untuk mengerahkan pasukannya menggempur pesantren Giri. Pasukan Majapahit yang sudah lama tidak bertempur itu merasa gembira, mereka bersemangat dalam perjalanan menuju ke wilayah Gresik. Kisah perjalanan ke pondok pesantren Giri di Gerik itu, tidak diceritakan berapa lama menempuh perjalanannya.

Pasukan Majapahit telah mengepun pondok pesantren Giri, mereka telah membuat persiapan yang matang, bersembunyi di tempat yang tidak mudah dilihat oleh lawan. Semua tempat telah dikuasai oleh pasukan Majapahit. Dan tinggal menunggu aba-aba penyerangan, dari ki Patih Maudara.

Pada sore hari itu kebetulan ada seorang santri yang mengetahui keberadaan pasukan yang bersembunyi di semak belukar, dalam jumlah yang besar. Kemudian melaporkan informasi ini kepada pimpinan pondok pesantren hingga sampai kepda Sunan Giri.

Kemudian Sunan Giri memerintahkan para santri untuk berkumpul di halaman pondok, tanda kentongan dipukul titir sebagai tanda bahaya yang sedang mengancam. Para santri yang masih belajar menerima pelajaran pada sore hari itu, bubar dan bersiaga di halaman pondok.

Mendengar suara titir yang bersahutan itu, patih Maudara menganggap bahwa ini sebuah perlawanan yang dipersiapkan, maka ki Patih segera memberikan aba-aba menyerang. Dari balik gerumbul dengan suara gemuruh, gegap gempita, pasukan Majapahit menyerbu pondok pesantren.

Para santri yang sedang menerima pengarahan dari Lurah pesantren tidak sempat melakukan perlawanan. Pasukan yang menyerbu itu, dalam jumlah yang sangat besar, para santri yang tidak bersenjata itu tanpa dapat berbuat banyak kecuali hanya mencari selamat diri masing-masing. Serentak para santri naik ke ketempat Sunan Giri berada, dan mencari perlindungan.

Sunan Giri setelah menyaksikan bahwa di luar ada pasukan dari Majapahit yang menyerang dan merusak bangunan pesantren dan juga masjid, tidak hanya itu. pasukan yang sudah berhasil mendekati tempat tinggal Sunan Giri, juga merusak dan mulai melakukan pembakaran.

Kemudian Sunan Giri memerintahkan para santrinya untuk duduk dan tenang hanya berserah diri kepada Sang Khalik, mereka semua mengikuti petunjuk Sunan Giri melakukan istighosah.

Sunan Giri yang waktu itu masih memegang kalam [pena dari bulu] kemudian membaca doa dan kalam tadi dilemparkan ke arah para prajurit yang sedang merusak tempat tinggal Sunan Giri.

Rupa-rupanya doa Sunan Giri dikabulkan oleh Yang Maha Perkasa, kalam tadi berubah menjajdi sebilah keris yang terbang menyambar semua pasukan yang ada di halaman rumah. Korban pun berjatuhan.

Keris tersebut tidak berhenti terbang, meski telah memakan banyak korban, sambaran keris yang sangat cepat itu membuat cemas ki Patih maudara yang melihat prajuritnya banyak yang tewas maupun terluka. Kemudian pasukan diperintahkan jundur, dan kembali ke Majapahit.

Setelah pasukan Majapahit meninggalkan pesantren Giri, keris yang dari kalam tadi, kembali ke hadapan Sunan Giri dan penuh berlumuran darah. Kemudian Sunan Giri berkata;” wahai para santriku, saksikanlah bahwa kalam ini akan menjadi nama sebilah keris, yaitu KALAM MUNYENG[ kalam yang beterbangan].

Setelah situasi menjadi aman, dan ternyata pasukan Majapahit telah kembali ke kerajaan, maka para santri sudah diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing, namun tetap meningkatkan kewaspadaanya.

Laporan intelijen melaporkan tentang kekalahan pasukan Majapahit yang gagal menumpas dan menghancurkan pesantren Giri, menjadikan Sang Prabu Brawijaya semakin berang. Patih Maudara menerima hukuman dari Sang Prabu Brawijaya, yakni untuk melatih pasukannya menjadi pasukan yang militant.

ki Patih maudara juga melaporkan tentang kejadian aneh yang menyerang pasukan Majapahit, namun Sang Prabu Brawijaya sama sekali tidak percaya dengan omong kosong ki Patih tentang Kalamunyeng.

Sastradiguna