
WAJAH ramah dan sambutan hangat seorang lelaki paruh baya menyambut kami dari pos penjagaannya. Pak Mistari, demikian pria itu mengenalkan namanya, memaparkan segala hal tentang sebuah bangunan kuno dari batu setinggi 24,5 meter yang berdiri tegak menatap balik pada kami. Tentu saja itu adalah candi, karena mlancong kami siang itu di kompleks Candi Jawi. Siang itu terasa panas menyengat oleh minimnya teteduhan di sekitar candi. Lokasinya yang terbuka di pinggir jalan, persaingannya dengan obyek wisata lain yang tersebar di sekitar Pandaan dan Trawas, ditambah kurangnya kesadaran masyarakat akan nilai sejarah, membuat bangunan ramping itu terlihat tak berarti. Beberapa pelancong juga hanya mengisi kunjungannya dengan berfoto dan duduk-duduk setelah bosan berkeliling dan kepanasan. Tapi oleh pitutur Pak Mistari, kompleks batu yang serba bisu itu diubah menjadi cerita dramatis bak Ramayana. Inilah kisahnya pada kami.

ANTUSIAS. Tahukah anda terkadang seorang jupel (juru pelihara) candi harus bekerja rangkap. Pak Mistari ini harus juga menjadi jupel di Prasasti Cunggrang. Candi Jawi dijaganya usai merawat prasasti tersebut pada pagi hari. (foto: doc pribadi)
Seperti lukisan hidup, begitulah kira-kira yang kami tangkap saat menatap sosok Candi Jawi dari arah depan. Kanvas raksasa biru muda dengan sapuan kuas tipis membentuk siluet gunung suci Penanggungan, goresan-goresan kuas yang lebih kuat membentuk medan hijau dari daun-daun pohon beringin raksasa di belakang candi, dan akhirnya lukisan utamanya adalah candi itu sendiri, berdiri tegak menatap sang bagaskara.

KOMIK. Menurut Negarakertagama, relief pada Candi Jawi bercerita tentang wanita bangsawan. (foto: doc pribadi)
Yang menarik dari mengunjungi candi adalah bagaimana kita mampu dibawa kembali pada citra masa lalu, sebuah situasi yang telah lenyap dikubur waktu. Rekaman citra itu salah satunya ditemukan dalam renteten relief. Kami menyusuri lekak-lekuk relief seperti dua pelancong yang asyik menikmati alam di zaman kerajaan setelah menunggang mesin waktu. Banyak pemandangan menakjubkan di sana.

GALERI. Payung, burung-burung yang beterbangan, hembusan angin pada pepohonan, lelontek (bendera), bahkan rusa zaman itu masih bisa dinikmati hingga hari ini. (foto: doc pribadi)
“Eh, lihat ada barisan burung melintas di langit kuno!” teriak Selvy, rekan mlancong-ku. “Gajah, rusa, babi, dan kuda tunggang yang mewah.” Aku mendekat padanya, “lihat, hiasan ukir pada rumah-rumah kuno, dan kibaran lelontek itu.” “Ya ampun! Seperti di Bali!!” Selvy menimpali.
Seperti itulah gelak kami berdua bermain-main pada citra-citra dalam relief, serasa menembus waktu kembali ke zaman lampau. Jika anda tidak mampu menembus waktu, lalu untuk apa anda melancong ke candi?

ILUSTRASI. Saya mencoba mengilustrasikan apa yang saya lihat pada salah satu relief. Seniman membantu kita memahami betapa makmur dan indahnya negeri kita di masa lalu. (foto: doc pribadi)
Candi Jawi memiliki keunikan yang tak dimiliki bangunan candi lainnya, dan tentu saja, kisahnya yang selalu memiliki unsur ‘dua sisi’
‘Dua sisi’ pertama adalah bahan pembangun candi, yang terdiri dari dua jenis batu, yakni batu andesit hitam dan batu putih. Hal ini menurut Pak Mistari dikarenakan Candi Jawi dibangun pada dua zaman yang berbeda, zaman Raja Kertanegara dari Singhasari dan zaman Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. “Karena dua kerajaan ini pada dasarnya masih satu saudara,” tutur Pak Mistari serius. Zaman Singhasari menghasilkan candi-candi yang dipahat dari batu andesit yang memang banyak terdapat di gunung Welirang, namun tehnik ini ditinggalkan pada zaman Majapahit yang lebih suka menggunakan bahan bata merah karena lebih halus dan praktis.

DUA AGAMA. Ciri-ciri Budha terlihat pada puncak candi berupa stupa. Kanan: arca Durga Mahesasuramardini yang bersifat Hindu ditemukan pada Candi Jawi. Arca ini sekarang berada di museum Mpu Tantular. (foto: doc pribadi)
‘Dua sisi’ ketiga adalah fungsi candi. Candi Jawi dengan teguh menyimpan jawaban dari misterinya sendiri, padahal dia telah melihat bagaimana para sejarawan terpecah menjadi dua. Sebagian mereka meyakini candi ini bersifat praswyu, sebagai pendharmaan/pemakaman raja Kertanegara. Argumentasi ini didasarkan berita dari Negarakertagama yang menyebut candi yang bernama kuno Jajawi ini sebagai penyimpan abu jenasah sang raja. Dan juga sebuah bukti kasat mata bahwa candi ini memunggungi gunung suci Penanggungan, suatu hal yang tak didapat pada candi-candi yang berfungsi sebagai tempat peribadahan. Namun mereka yang menolak pendapat ini tetap bersikukuh bahwa candi ini bersifat pradaksina (peribadahan pada dewa), dengan alasan bangunan batu ini sudah dibangun saat Raja Kertanegara masih hidup, dan lagi pembacaan relief pada bagian batur candi yang mengarah dari kanan ke kiri. Tambahan lagi, terdapat unsur Budha yang menyebabkan candi ini, meski adalah candi peribadatan, dibuat memunggungi gunung suci Penanggungan.
Mungkin hanya sang candi sendiri jugalah yang menyimpan alasan kebisuannya selama melintasi abad terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya sendiri. Dan dia tahu, dengan itulah dirinya akan senantiasa menarik dan molek di tengah masyarakat praktis yang tak juga mengerti arti dan nilai dari sekeping sejarah.

PENGUNJUNG MUSLIM. Kiri: Penanggungan sebagai gunung suci Pawitra di zaman kuno terlihat jelas dari candi, menunjukkan pada kita betapa sakralnya tempat ini di masa keemasannya. Kanan: perbandingan ukuran badan candi dengan orang-orang. (foto: doc pribadi)
Pesan yang diberikan Candi Jawi melalu segala “dua sisi” yang dimilikinya adalah Bhinneka tunggal ika.
Kata “bhinneka tunggal ika” bukanlah sesuatu yang istimewa, itu hafalan saat kita di sekolah dasar, namun jika kita gali konteks kalimat dari kitab Sutasoma ini sungguh.., jika boleh kukatakan: mengerikan. Tunggal ika adalah persatuan, artinya anda tidak bisa mencapai moksa (sebut saja menurut pengertian kita sekarang: masuk sorga) berdasar kepercayaan anda tanpa mengakui kebenaran agama lain. Itu sama artinya anda mengimani bahwa sebagai seorang Kristen anda tidak bisa sampai kepada Allah jika tidak mengakui kebenaran agama Islam misalnya. Aku sendiri merinding mendapati fakta ini. Sinkretisme Siwa-Budha oleh leluhur kita di zaman Majapahit bukanlah “toleransi saling menghormati” seperti yang kita miliki sekarang ini, juga bukan peleburan/kawin-silang antar agama sebagaimana aliran nyeleneh yang saat ini bermunculan. Sebagai orang Majapahit, anda, katakanlah beragama Hindu, anda utuh dengan keyakinan anda, namun anda juga mengimani bahwa agama Budha adalah agama yang benar meskipun anda tidak ikut mempraktekkan ajaran Budha, barulah anda memperoleh moksa. Perbedaan itu semata-mata, bahwa pengakuan anda terhadap kebenaran agama lain menjadi bagian integral dalam keimanan dan “syahadat rasuli” anda: —’aku percaya…agama lain sama benarnya dengan agamaku‘
Sang Jina yang disebut-sebut dalam kitab Sutasoma adalah Syiwa yang mencapai tataran Budha.

FEMINITAS. Yoni adalah simbol feminitas dalam Hinduisme. Batu ini adalah satu-satunya yang mengisi ruang utama candi. (foto: doc pribadi)
“Di situ hanya jenazah beliau saja yang dimakamkan. Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda.” (Negarakertagama 56:1)
“Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Buda, sangat tinggi. Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara.” (Negarakertagama 56:2)
Candi Jawi tidak sendirian merekam hal ini, beberapa candi lain, katakanlah candi Jago, adalah candi bersifat Budha yang menghiasi dindingnya dengan relief kisah Arjunawiwaha, Parthayajna dan Kalayanawantaka yang bersifat Siwa. Sebaliknya, candi Penataran adalah candi Siwa yang memahat kisah Bubuksah Gagangaking yang bersifat Budha.

ORANG SUCI. Langit-langit pada ruangan utama candi, tepat di atas batu yoni. Kanan: gambar orang berkuda tepat di puncak langit-langit. Lingkaran pada kepalanya (prabhamandala) mengingatkan kita pada citra orang-orang suci di gereja-gereja abad kegelapan. (foto: doc pribadi)

MUSUH. Angin, panas dan hujan adalah musuh yang menggerus keindahan candi, seperti arca ini. Relief di badan candi juga mengalami hal yang sama, hingga tetap sulit dipahami maksud kisahnya. (foto: doc pribadi)
Menyusun kembali bangunan masa yang telah lenyap tidaklah mudah, menuntut disiplin ilmu arkeologi dan pembacaan teks-teks kuno. Namun itulah yang menarik dari sejarah, semakin kita tak mengerti semakin tinggi nilainya.
Repihan suasana Candi Jawi bisa kita temukan dalam teks kuno Negarakertagama. Repihan informasi yang lain kita temukan dalam relief candi itu sendiri yang menggambarkan terdapat tiga buah candi perwara di kompleks tersebut. Namun ketiganya lenyap ditelan pergantian zaman.
Bila kita melayangkan pandang ke bagian belakang candi akan terlihat seonggokan bangunan runtuh tak berbentuk dengan bahan batu merah. Menurut “penuturan” relief di badan candi utama dan diperkuat informasi Pak Mistari, bangunan itu adalah pintu gerbang, yang saat ini disebut candi Bentar. Menyusuri kembali lukisan masa lalu memang tak pernah ada habisnya, selalu ada sisi-sisi mengejutkan.

TERBENGKALAI. Kiri: batu bata merah ini menurut jupelnya adalah bekas pintu gerbang dan dibangun pada masa Majapahit. Terbengkalai karena sudah sulit direkonstruksi. Kanan: Batu-batu penyusun candi Jawi yang pensiun setelah perannya dikudeta batu-batu yang lebih baru. (foto: doc pribadi)
Candi Jawi kemungkinan dibangun sebagai bentuk peninggalan masa ketika agama Hindu dan Budha mencapai puncak sinkretisme. Menurut sumber Negarakertagama, candi ini dibangun oleh Raja Kertanegara dari kerajaan Tumapel yang ibukotanya, Singhasari, lebih terkenal daripada nama kerajaannya. Candi ini pernah disambar petir pada tahun 1253 yang meraibkan sebuah patung Maha Aksobaya. Pemugaran pertama dilakukan oleh Raja Hayam Wuruk setahun setelah insiden itu. Selanjutnya dalam rentang tiga tahun sejak 1938 pemerintah Hindia Belanda mencoba dengan sia-sia memugarnya dari kerusakan yang parah. 35 tahun kemudian dalam masa kekuasaan Orde Baru candi ini memperoleh pemugarannya yang terakhir dan tahun 1982 diresmikan sebagai obyek wisata.

UKURLAH DARI INI. Candi Jawi yang digunakan beribadah secara bersama-sama antara Hindu dan Budha tidak menyediakan dua jalan berbeda yang beriring, melainkan hanya satu jalan yang digunakan bersama-sama berukuran sesempit ini, memberi gambaran pada kita betapa berhasinya sinkretis saat itu. (foto: doc pribadi)
Sudahkah kita menengok dan belajar? (Asisi Suharianto)